Breaking News

Oktober, Kiamat bagi Ekonomi Indonesia yang Salah Urus

Pengakuan Economic Hitman

 Oleh: Mardigu Wowiek Prasetyo

 

Berdiskusi dengan seorang bule yang tinggal di top floor Pakubuwono Residence selama 2 bulan hanya untuk mempelajari ekonomi Indonesia. Setelah itu, rencananya ia akan berangkat ke Mumbay dan katanya dia berencana tinggal di India juga selama 2 bulan untuk mempelajari ekonomi Negara India. Pembicaraan kami berdua cukup intense dan “menegangkan”.

 Usianya 65 tahun, kebangsaan Amerika, ras Yahudi. Sebuah spesifikasi SARA yang bagi sebagian “pegiat agama”, dia bisa di ketagorikan “public enemy number one”. Atau bagi “pegiat agama” yang senangnya mencari perbedaan, spesifikasi dia masuk objek penderita yang layak di-bully.

 Tetapi begitu kenal dia, dia seorang parenialist, seorang pluralist, universalist dan economist sejati. Di Amerika dia juga bukan orang yang disukai semua orang. Dia seorang financial economics, dari kampus ternama Ivy League.

 Di Indonesia dia mengumpulkan data, SUN (Surat Utang Negara) kemana saja dan siapa yang ambil, hutang korporasi kemana saja, export import Indonesia, arus keluar masuk barang. Semua dipetakan di“mapping”. Dia tahu kelemahan dan kekuatan data terakhir Indonesia. Kegiatannya ini sebenarnya termasuk kategori inteligen ekonomi (economic intelligent).

 Sayangnya data ini tidak bisa dilarang. Tidak ada hal/data yang dilanggar olehnya. Tidak ada rahasia negara yang dicurinya. Dia hanya mengumpulkan data publik dan data negara dengan cara berbeda dengan BPS. Dia juga tidak ABS (asal bapak senang). Bahkan dia menganalisa setiap pejabat Indonesia yang memberikan jumpa pers. Dia tahu sekali ini misalnya, menteri anu pinter tuh, dia tahu masalah atau pejabat anu tahu hanya kulit-kulitnya, atau pemimpin anu dia nggak tahu sama sekali.

 Dari setiap perkataan dan kalimat dia analisa pemilihan kata-katanya, mimiknya, gerak tubuhnya, timingnya, konten isi informasinya, arah pembicara, semua ada arti baginya, sang financial economic ini. Dia tidak membaca koran yang diam/statis, dia melihat video atau tayangan yang reporter (asing) rekam. O iya catatan, hampir 80% wartawan asing dekat dengan dunia intelijen.

 Lalu dia berkata, your country is in bad shape!

 Saya bertanya, any proof sir?

I tell you just one, dia berkata yang saya terjemahkan : jika pada bulan Agustus nanti PLN surat hutangnya jatuh tempo, saya tahu PLN tidak punya “uang”. Pasti minta diperpanjang hutangnya di Wallstreet. Apa yang terjadi kalau “saya” tidak perpanjang hutang tersebut. Saya minta bayar, saat itu juga. Apa yang terjadi dengan PLN?

 Saya berkata, PLN default? bangkrut?

 Dia berkata, Indonesia pasien IMF dua bulan kemudian! Kalian kan sudah punya bukti, APP (Asia Pulp Paper)nya Sinarmas. Kami tidak perpanjang hutangnya 14 bilion dollar kira-kira 10 tahunan yang lalu bukan? Kok masih juga diulang lagi sih?

 Hanya PLN bikin Indonesia jadi pasien IMF? Saya bertanya.

 You want to know the rest State-owned enterprise record? Mau tahu catatat lain BUMN? Semua parah!

 Kepala saya terbayang pabrik kertas keluarga Wijaya itu kena “hostile take over” dengan gagal dapat perpanjangan surat hutang atau bond.

 Dia melanjutkan, BUMN Indonesia ini lucu, yang dilawan bangsanya sendiri. Harusnya BUMN melawan asing, yang swasta belum tentu kuat atau bahkan tidak kuat sama sekali melawan investor asing. Nah ini BUMN Indonesia memakan swasta malah kerja sama dengan asing lagi.

 Dia tertawa tergelak-gelak. Presdiennya nggak ngerti sejauh ini efek tindakan kebijakan BUMN anda tadi, well, damage is already done. See what happens in the near future, very near! Dia masih tergelak di ujung kalimatnya.

 Dia melanjutkan, kredit macet di bank 3 besar (pelat merah), ini karena memaksakan membangun ke sektor tidak produktif, infrastruktur. Bukan salah membangun infrastruktur, tapi bukan untuk daerah yang hanya berpopulasi rendah namun ada sektor produksinya. Negara anda bukan negara maju, China dan Amerika (tahun 1940-50 dijaman FDR) membangun infrastruktur di saat GDP nya di atas 5000. Indonesia masih 3500 saat ini.

 Nggak heran Bank Mandiri beberapa perusahan konstruksi karya-karya mulai menjual asetnya demi membayar beban hutang. Hampir semua bank tersebut keuntunganya tahun 2015 dibanding 2016, turun separuhnya ditahun 2016 dan ditahun 2017 kembali turun setengahnya.

 Yang anehnya, China membeli Newmont dibiayai bank nasional. Langung cashless itu bank. NPL Mandiri 4%, NPL BRI 5,6%. Padahal Non Performing Loan ini tidak boleh lebih 3 %. Sakit semua bank besar dan sekarang semua bank tidak sanggup kasih pinjaman BUMN lagi yang tidak likuid.

 Puncaknya lagi bank BUMN akan jadi tumbal keputusan kereta cepatnya Rini Soemarno (Rinso), menarik lagi 6 milyar dolar.

 Ini yang saya suka dari Pemerintah saat ini, kata si Bapak itu kemudian. Saya pemain uang, ini peluang banget di depan mata, mirip tahun 1997. Puncak gunung es mencair dengan hutang tak terkendali di Indonesia.

 What are you gonna do? Saya bertanya.

 Dia hanya menaikan dua pundaknya sambil tersenyum. Bukan saya lho yang buat negara ini “not in good shape”. Saya hanya lihat peluang. Saya tunggu Oktober, will see what Indonesian’s government can do, katanya kemudian.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur