Breaking News
Pasangan Jokwo - Ma'ruf (Foto : Tribun)

Kemenangan yang Rapuh akan Berakhir Gaduh

Oleh: Anton Permana (Pendidikan Lemhannas Angkatan LVIII)

 

Pasangan Jokwo – Ma’ruf (Foto : Tribun)

 

Penulis tidak kaget ketika Komis Pemilihan Umum (KPU) selayaknya pengumuman kenaikan BBM dulu, tiba-tiba memajukan pengumuman kemenangan Paslon 01 sebagai pemenang Pilpres. Karena apa, sejak awal didalam beberapa tulisan sebelumnya, penulis sudah menyampaikan beberapa analisis dan prediksi kejanggalan yang terjadi pada proses penyelenggaraan Pemilu tahun ini.

 Mulai dari polemik UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang President Treshold 20 persen yang menjadi satu-satunya terjadi di dunia, sampai dengan dirobahnya aturan Petahana harus mundur sebelum menjadi calon presiden.

 Tidak hanya sampai disitu saja, di setiap tahapan proses Pemilu ini (Pilpres) hampir dengan runut semua aturan sudah tertata sedemikian rupa untuk memuluskan Petahana untuk melenggang kangkung lanjut dua periode. Tak peduli mau berapapun hasil suara di TPS, toh yang akan menentukannya nanti adalah KPU secara berjenjang, dan ada Bawaslu bersama aparat penegak hukum sebagai pengawalnya, serta media mainstream dengan cipta kondisi opini masyarakat plus dengan komentar para pelacur intelektual yang memang sudah dibayar untuk itu.

 Dan ternyata, semua apa yang pernah penulis tuliskan itu hampir 100 persen akurat. Bahkan lebih dalam dan brutal lagi. Namun oke lah, semua itu sudah berlalu. Namun penulis menangkap ada beberapa pesan tersirat dan tersuruk (tersembunyi) dari suksesi kemenangan paslon 01 ini. Yaitu :

 1. Kejahatan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu dan pilpres hari ini begitu telanjang dan sangat vulgar. Dari mulai tahapan penetapan DPT yang tak pernah tuntas, DPT siluman, (proses sebelum coblos) sampai dengan tahapan pencoblosan, quick count, situng, rekapitulasi, dan penetapan yang dimajukan, semua berjalan vulgar bebas nilai dan bebas hukum.

 Berbagai macam bentuk kecurangan dilaporkan tapi semua dianggap sebelah mata. Dicuekin, bahkan dianggap tak ada alias sepele.

 Padahal semua fakta dan bukti sebegitu terang benderang dikonsumsi masyarakat. Disinilah letak kecurigaan dan kejanggalan yang penulis maksudkan. Karena seolah semua kejahatan ini dibiarkan seterbuka mungkin. Sevulgar-vulgarnya.

 Kalau didalam era sebelumnya, sedikit saja masalah, media begitu garang menguliti, aparat begitu sigap mengatasi agar masalah tidak melebar. Tapi era sekarang, pihak penyelenggara, Bawaslu, media, bahkan polisi kompak satu suara yaitu, bagaimana Petahana menang. Tak peduli mau main kayu atau apa.

 2. Setelah KPU mengumumkan paslon 01 menang, dengan mengabaikan segala bentuk laporan pengaduan, barulah penulis berani menyimpulkan bahwa semua ini tak lain ada sebuah skenario yang lebih besar lagi dari pada hanya sekedar memenangkan Petahana. Ada sebuah agenda yang lebih dahsyat lagi dibalik konspirasi ini semua yaitu: bagaimana memenangkan kubu yang lemah secara de facto legitimasi rakyat, tapi ditopang oleh sebuah pisau kekuasaan yang berdarah dingin.

 Tujuannya apa? Agar terbentuk polarisasi seimbang dalam teori balance of power dari dua kutub yang potensial untuk kemudian dibenturkan. Karena, apabila dua kubu yang berlawanan sama kuat, sama punya power, maka dua kutub kekuatan ini sangat ideal dan mudah untuk dibenturkan.

 Contohnya. Sudah menjadi fakta empirik kalau Petahana itu real di lapangan itu sudah kehilangan pesona dan dukungan dari masyarakat. Lihatlah di setiap kampanye dan kunjungannya. Selalu dihantui dengan kursi kosong dan pembatalan kunjungan. Kalaulah tidak segera ditopang dan dimobilisasi penuh oleh struktural pemerintahan dengan dukungan dan supervisi polisi, penulis sangat yakin Petahana bukanlah apa-apanya. Petahana bagaikan angin hampa yang tak punya daya apa-apa.

 Berbeda dengan paslon 02 yang begitu semarak dan gegap gempita ditengah masyarakat. Di setiap kampanyenya selalu membludak bagaikan air bah. Nah, kondisi Petahana yang ditopang aparat dengan paslon 02 yang didukung penuh rakyat, menjadikan polarisasi dua kubu ini sangat tajam dan rentan untuk dibenturkan.

 3. Apabila dua kubu ini akhirnya sama-sama tidak bisa menahan diri, maka bersiap-siaplah apa yang kita takutkan bersama akan terjadi yaitu perang saudara.

 Ini lazim bisa terjadi, kalau kita melihat sejarah Nusantara. Ketika kerajaan Majapahit begitu digjaya membentuk Nusantara, akhirnya hancur lebur akibat Perang Paregreg, yaitu perang saudara yang berkecamuk yang akhirnya melemahkan kerajaan.

Sejarah ini bisa saja terulang lagi, karena teorinya memang begitu. Bahwa, sejarah akan berulang sebagaimana itu terjadi. Perang saudara inilah yang ditunggu-tunggu pihak asing. Agar lebih mudah kuasai Indonesia. Perang saudara yang akhirnya merobek dan membelah bumi Nusantara ini berkeping-keping. Untuk kemudian mereka bajak dan dibagi lintas sesama penguasa.

 4. Kalau kemenangan yang rapuh ini gagal untuk melahirkan konflik, maka agenda selanjutnya adalah bagaimana merancang cipta kondisi agar pemilihan pilpres dan Pilkada kedepan dikembalikan melalui legislatif.

 Padahal ini sebenarnya adalah strategi mereka kedepan untuk tak perlu modal besar lagi untuk berkampanye presiden yang dipilih secara langsung. Cukup dipilih legislatif saja seperti zaman orde baru. Padahal itu mereka kondisikan karena mereka adalah pemegang kekuasaan mayoritas di parlemen (koalisi). Kalau sudah mayoritas, tentu mau melakukan amandemen apapun bisa. Termasuk mengganti UU yang sudah jalan dan eksis sekalipun. Termasuk tata cara pemilu dan pilpres, bahkan sampai amandemen UUD 1945 dan Pancasila.

 Kalau dalam teori negara sosialis hal ini lazim digunakan. Yaitu bagaimana memecah belah setiap komponen sumber daya negara, agar tidak ada satu kekuatan komponen bangsa pun yang mapan dan kuat. Selanjutnya membentuk koalisi (merger) bersama antar sesama parpol yang kemudian membentuk Partai Tunggal. Partai negara yang punya kuasa tanpa batas mengatur masyarakat. Arah kesana sudah tampak jelas. Bagaimana hampir setiap partai disusupi, dipecah belah, organisasi besar KADIN, KNPI, apa saja semua terpecah belah. Mana yang pro penguasa diangkat tinggi-tinggi, mana yang melawan diinjak dan dicari-cari kesalahannya.

 5. Kemenangan dari proses yang rapuh ini juga dijadikan sebagai kartu truft buat Petahana, sebagai dasar amunisi menyandera paslon. Kalau sempat macam-macam berarti selesai dech…

 Untuk itu, kemenangan versi KPU yang diumumkan tengah malam secara diam-diam itu adalah kemenangan yang rapuh, penuh intrik culas, dan memaksakan legitimasi secara kasar dan jauh dari tata nilai dan norma negara yang ber-Pancasila ini.

 Drama kemenangan 01 hasil sinematografi KPU ini adalah kemenangan yang compang-camping, kemenangan semu tanpa daya, ibarat baju bolong sana-sini. Hanya mereka saja yang tak ada rasa malu. Merasa menang padahal semua orang tahu itu hasil curang yang sistematis.

 Kemenangan yang hanya ditopang oleh arogansi power kekuasaan ini, tidak akan bertahan lama. Karena tidak lahir dari rahim rakyat. Tapi lahir dari proses ‘haram’ hasil perselingkuhan kekuasaan dengan penegak hukum. Trias Politika sudah mati. Dan berarti negara ini bukan lagi negara demokrasi. Semua sudah dikebiri.

 Kemenangan versi KPU ini sangat rapuh, dan yakinlah akan melahirkan kegaduhan dan rusuh. Apakah rakyat dan para patriot negara akan diam begitu saja? Tentu tidak. Kita akan melihat beberapa hari kedepan. Ketika keadilan itu dibungkam dan ingin dikendalikan oleh kekuasaan. Maka keadilan itu akan mencari jalannya sendiri.

Era baru diktatorian dan kesewenang-wenangan telah hadir di negeri ini. Dan yakinlah, kemenangan 01 versi KPU ini tidak akan bertahan lama. Ini terjadi karena aparat sudah menjadikan dirinya dari bahagian dari kekuasaan. Dan 01 tak berharga apa-apa tanpa polisi yang all out pasang badan. Itu tanda nyata kalau 01 ini memang rapuh.

 Demikianlah tulisan Analisis penulis tentang skenario merancang kemenangan yang rapuh ini. Agar lahir juga pemimpin yang rapuh agar mudah gaduh dan rusuh. Semoga negeri kita selalu diberikan Allah jalan dan solusi untuk keluar dari kepungan kemungkaran ini. Wallahualam.

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur