thayyibah.com :: Lima puluh orang tak berdosa harus kehilangan nyawa mereka akibat serangan teroris di Christchurch, Selandia Baru, pekan lalu, Jumat (15/03/2019). Puluhan Muslim lainnya, sedang melaksanakan shalat Jumat, kini harus berjuang melawan luka akibat serangan tersebut.
Ada banyak referensi sejarah tertulis di sisi senjata yang digunakan pelaku. Bahkan pelaku merekam dan menyiarkan secara langsung aksi kejinya itu. Beberapa kali pelaku menyebut negara Turki dan nama saya, dan hal itu harus diselidiki secara mendalam.
Setelah serangan Selandia Baru, pihak berwenang Turki menemukan bahwa pelaku atas nama Brenton Harrison Tarrant, pernah mengunjungi Turki dua kali pada 2016 dan menghabiskan waktu di berbagai bagian di negara itu. Bahkan kami meyakini bahwa Tarrant juga mengunjungi sejumlah negara, termasuk Maroko, Israel dan Kroasia.
Badan Intelijen dan Penegak Hukum Turki tengah bekerja sama dengan pihak Selandia Baru, untuk mendalami apa yang sebenarnya terjadi, dan melakukan pencegahan agar insiden semacam itu tidak terulang di masa mendatang.
Tersangka pelaku pembantaian Christchurch berusaha untuk melegitimasi pandangannya yang memutarbalikkan dengan mendistorsi sejarah dunia dan keyakinan Kristen. Dia berusaha menanam benih kebencian di antara sesama manusia.
Sebagai seorang pemimpin yang telah berulang kali menekankan bahwa terorisme tidak memiliki agama, bahasa atau ras, saya dengan tegas menolak segala upaya untuk mengaitkan serangan teroris pekan lalu dengan ajaran, moral, atau prinsip-prinsip kekristenan. Apapun, yang terjadi di Selandia Baru adalah racun dari kebencian dan kebodohan.
Ini bukan pertama kalinya orang-orang Turki menyaksikan distorsi besar sejarah di tangan para teroris. Berdasarkan yang pernah terjadi, ISIS, organisasi teroris yang telah membunuh ribuan orang, pernah menyerukan ‘penaklukan kembali’ Istanbul. Hal ini sama seperti yang dilakukan Tarrant, yang dalam manifestonya ia berjanji akan menjadikan Christchurch sebagai ‘kota sah milik kaum Kristen’.
Pada titik ini, kita bisa melihat tidak ada perbedaan antara teroris yang membunuhi Muslim di Selandia Baru dengan mereka yang telah melakukan aksi teror baik di Turki, Prancis, Indonesia maupun tempat lain.
Setelah serangan oleh ISIS, para politisi dan komentator Barat langsung ramai menyematkan terorisme ke dalam Islam dan kaum Muslim. Pada saat itu, kami keberatan dengan penyematan agama kami dengan terorisme, dan berjanji untuk tidak mengizinkan upaya teroris untuk membajak agama kami.
Sayangnya, Islamofobia dan xenophobia, di antara praktik-praktik lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai liberal, disambut dengan diam di Eropa dan bagian lain di dunia Barat. Kami tidak dapat membiarkan ini lagi. Jika dunia ingin mencegah serangan di masa depan yang serupa dengan yang terjadi di Selandia Baru, itu harus dimulai dengan menetapkan bahwa apa yang terjadi adalah produk dari kampanye kotor terkoordinasi.
Seharusnya tidak perlu dikatakan bahwa orang-orang Turki tidak akan hanya meninggalkan tanah air mereka yang berusia berabad-abad karena para teroris menuntutnya. Kami juga tidak akan pernah membiarkan para pembunuh gila menargetkan komunitas agama, bangsa atau kelompok mana pun.
Sebagai pewaris Tahta Ottoman, Turki telah bergabung dengan aliansi melawan terorisme segera setelah serangan teroris 11 September 2001 di New York. Setelah bergabung dengan NATO lebih dari 60 tahun yang lalu, kami menganggapnya sebagai tujuan strategis untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa. Dengan cara yang sama, kami akan terus bekerja sama dengan teman-teman dan sekutu kami dalam memerangi semua kelompok teroris.
Sebagai buntut dari pembantaian Christchurch, Barat memiliki tanggung jawab tertentu. Masyarakat dan pemerintah Barat harus menolak normalisasi rasisme, xenophobia dan Islamophobia, yang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Sangat penting untuk menetapkan bahwa ideologi yang bengkok seperti itu, seperti anti-Semitisme, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, kita harus menjelaskan semua aspek dari apa yang terjadi dan sepenuhnya memahami bagaimana teroris menjadi radikal dan hubungannya dengan kelompok-kelompok teroris untuk mencegah tragedi di masa depan.
Akhirnya, semua pemimpin Barat harus belajar dari keberanian, kepemimpinan, dan ketulusan perdana menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, untuk merangkul umat Muslim yang tinggal di negara mereka masing-masing. (thayyibah.com)
*Artikel ini ditulis oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan dimuat di Washington Post dengan judul: “The New Zealand killer and the Islamic State are cut from the same cloth”.