Breaking News
Pak Jokowi dalam sebuah acara (Foto : Istimewa)

Pendukung Petahana, Antara Galau dan Dagelan

Pak Jokowi dalam sebuah acara (Foto : Istimewa)

 

Abang saya adalah sekretaris RW. Dia pendukung petahana yang masih setia. Saat Jokowi berkunjung ke daerah kami kemarin, Abang mendapatkan surat dari kecamatan yang meminta kehadiran. Dari Abang juga dapat informasi, bahwa ada ajakan minimal 10 keluarga per RW untuk datang dan akan ada sembako sebagai hadiah atas kedatangan warga.

Saya bertanya pada salah satu warga yang nyatakan akan datang, ketika dirinya berkunjung ke rumah.

“Emang beneran dukung Jokowi mas?” tanya saya di depan Abang juga saat itu.

Warga ini cuma ketawa.

“Jangan ketinggianlah bang nanya-nya. Ini cuma masalah sembako aja, di kasih rezeki ya kita ambil. Gak bisa dianterin, ya kita jemput itu sembako. Soal pilihan, nih!!” dia acungkan dua jari, menegaskan siapa yang akan di pilihnya.

Saya senyum dengan cara warga memanfaatkan moment “menjemput rezeki sembako”, saya liat Abang. Dari roman mukanya dia pun gak terlihat marah atas perkataan si warga. Dia juga tersenyum.

Di meja makan, setelah selesai makan, Abang bicara. “Saya tetap dukung Jokowi, tapi saya gak bisa lagi menjual nama Jokowi pada warga untuk mengajak memilih dia. Kebanggaan infrastruktur yang di beritakan gak menjawab keinginan warga secara langsung. Mereka ingin harga kebutuhan pokok dan BBM turun, tapi gak di dapatkan dengan membanggakan pembangunan infrastruktur. Mereka inginkan bayar listrik murah, tapi gak di dapatkan ketika di jawab dengan pembangunan jalan Tol, mereka inginkan mudahnya mencari pekerjaan, dan itu gak bisa di jawab dengan kesuksesan membangun bendungan dan bandara, gak nyambung kalau saya memaksakan sukses infrastruktur pada mereka sebagai acuan memilih Jokowi,” jelas Abang

Yap, apa yang di katakan Abang benar.

“Apa yang dimau warga adalah bukti atas keinginan mereka. Sudah lima tahun seharusnya bukti itu sudah mereka nikmati, bukan malah kembali di janjikan untuk dua periode, gitu kan?” tanya saya pada Abang.

Abang menghela napas, “Gimanapun, saya tetap dukung Jokowi. Minimal saya masih mendukungnya. Mengenai warga, saya gak bisa memaksa dan saya juga gak beranj lagi untuk berjuang seperti dulu ketika ajakan saya mengapa harus pilih Jokowi di jawab pertanyaan atas kondisi saat ini yang gak bisa saya jawab…”

Saya ketawa melihat masih ngototnya ia memilih Jokowi. Mengemas piring makan, saya kembali berkata pada Abang, “Udah…punya otak pake, punya pikiran…lahirkan logika. Jangan pakai perasaan dalam menentukan pilihan. Karena perasaan itu gak selalu benar. Cinta emang buta…bener gak?” Saya letak-an satu jari di kepala menandakan dia harus berpikir.

Dia tertawa, dan kami pun ketawa bareng sambil cuci piring berdua. Maklum, kakak ipar lagi kerja. Jadi kudu cuci piring sendiri setelah makan.

Abang ini dulu militan memperjuangkan Jokowi, namun saat ini…dirinya terkesan pasrah. Hanya melihat dan memperhatikan pemberitaan tanpa ikut gegap gempita membanggakan apa yang telah di capai Jokowi. Banyak pertimbangan yang membuat dirinya berbeda perjuangan dengan cara dahulu.

Membaca kegelisahan Brigaldo Sinaga dan Denny Siregar dipostingan mereka akan melemahnya militansi pendukung Jokowi. Saya setuju jika mereka saat ini memang sudah hampir menyerah. Bukan karena tidak mencintai Jokowi lagi, namun bingung dengan cara apa lagi harus memperjuangkan Jokowi jika yang gatal malah tidak digaruk.

Rakyat butuh kebijakan yang mempermudah mereka mencari kerja, malah di jawab dengan suksesnya jalan tol. Rakyat butuh harga murah, di jawab dengan suksesnya bangun bandara. Rakyat butuh listrik murah maka di jawab suksesnya membangun bendungan. “Jaka sembung bawa golok, gak nyambung Jok..”

Dulu saat pilpres 2014, Jokowi terbantu dengan pemberitaan tentang Esemka di Solo dan euforia kemenangan Pilgub DKI. Pemberitaan televisi yang masif ikut mendongkrak nama Jokowi. Pencitraan sederhana yang ditampilkan dan muka ndeso, gambaran rakyat kecil membantu dirinya mendapatkan kepercayaan publik. Semua pendukung Jokowi bahu membahu bergerak karena yakin sosok ini bisa merubah Indonesia. Militansi mereka luar biasa.

Demam ajang pencarian bakat ikut membantu sosok Jokowi jadi beken. Di ajang pencarian bakat, sering kali publikasi sosok peserta dengan kesederhanaan akan menarik minat penonton untuk memilihnya. Polling hanyalah pelengkap saja setelah sebelumnya media mengulas sisi yang bisa di jual dari peserta. Sosok Prabowo yang memiliki harta berlimpah melawan muka ndeso yang suka cengengesan pastinya publik menyukai muka ndeso karena demam ajang pencarian bakat yang sudah makin menggila kala itu.

Masyarakat terlalu mudah terpercaya dengan pemberitaan media yang memang sengaja di-booming-kan demi sebuah keuntungan. Sosok kontroversi akan jadi pembicaraan, sosok yang fenomenal akan jadi perhatian dan terus diingat masyarakat.

Bukti gambarannya, bagaimana sosok Norman Kamaru mereka puja setelah memberanikan diri keluar dari instansi yang membesarkan namanya. Norman menjadi idol setelah bergoyang India, namun setelahnya, Norman tenggelam karena dia tidak mempunyai kapasitas sebagai penghibur yang harus komplit mempunyai talenta. Talenta dadakan dan di paksa membuat Norman silau popularitas. Sekarang, ia hanya menjadi manusia biasa yang kabarnya menjual bubur khas Manado.

Demikian juga dengan sosok Jokowi. Ia yang tidak mempunyai kapasitas dan kemampuan memimpin tapi di puja bak seorang penyelamat. Popularitas yang di dongkrak media membuat sosok Jokowi jumawa. Dukungan orang kuat di belakangnya menjadi penyebab mengapa Indonesia melahirkan pemimpin yang sungguh membuat malu kita semua.

Kemampuan olah pikir yang memprihatinkan, lebih mengandalkan orang ke-3 tanpa berani memutuskan berdasarkan pemahaman sendiri. Belum lagi kemampuan berbahasa yang buruk di depan publik, yang ia bisa hanya tertawa dan tertawa. Lebih dari itu kita akan dibuat ketawa lagi ketika ia mencoba serius. Indonesia dibuat seperti panggung stand up ketika ia tampil dihadapan dunia.

Sosok Jokowi adalah type pemimpin yang tidak mempunyai visi dari pikiran sendiri. Ketika di tanya suatu kasus, maka dengan mudahnya ia akan melempar pada pihak ke-3. Padahal publik ingin mendengar bagaimana tanggapan dia atas suatu masalah. Jika melempar pada pihak ke-3 terus, menandakan ia sendiri tidak pernah memahami apa fungsi dirinya.

Seratus kekurangan Jokowi lalu hanya di tutupi dengan membangun infrastruktur. Gila lu ‘ndro..!! Membangun itu adalah tanggung jawab, bukan sebuah prestasi. Pasti harus membangun ketika subsidi di cabut, hutang di bentuk, pajak di naikkan. Kalau gak membangun, makin parah jadinya. SBY membangun dengan kalem, membangun tanpa menyakiti rakyatnya. Sedangkan Jokowi, membangun dengan mencekik rakyatnya. Disitu jelas perbedaan SBY dan Jokowi.

Tahun 2014 silam, publik terperdaya. Mendukung karena jebakan pemberitaan. Wajar itu mereka lakukan, karena waktu itu mereka masih yakin karena belum ada gambaran konkrit seperti apa Jokowi memimpin. Kata lainnya, mereka masih meraba. Informasi tentang memimpin di Solo belum banyak di dapatkan, begitu juga di Jakarta . Hanya peran media memang luar biasa.

Namun untuk saat ini, sudah sulit jika cara lama di lakukan lagi. Jokowi sudah diberikan amanah, apa yang di nilai adalah apa yang telah ia lakukan. Ketika kebijakan ia selama memimpin malah tidak berpihak pada rakyat kecil, maka para pendukung menjadi dilema. Karena ketika mereka berbicara sosok Jokowi pada masyarakat, maka mereka berhadapan dengan tudingan publik yang gak bisa mereka jawab, karena mereka hanyalah pendukung biasa yang mempunyai nalar yang sama dengan masyarakat lainnya.

Sekarang, hasil akan dikaji dan janji akan diteliti kembali. Ketika janji tidak menemukan bukti, maka publik berhak untuk menghakimi. Harus ada hukuman untuk pemimpin yang hanya bisa membual. Tidak memilihnya adalah bentuk penghormatan pada dirinya, agar dirinya paham bahwa selama ini hanya sebuah dagelan semata.[]

 

(Artikel ini diambil dari WAG tanpa menyebutkan nama dan sumber tulisan. Judul di atas adalah dari redaksi)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur