Apcalis SX without prescription, acquire clomid. thayyibah.com :: Sudah lebih dari setengah jam perenang di jalur tengah kolam renang di pinggiran Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu meluncur nonstop. Lajunya demikian cepat dan konstan.
Sejumlah pengunjung yang baru datang, mengamati si perenang di jalur tengah tersebut. Wajah mereka seketika melongo ketika perenang tersebut beranjak ke luar kolam. Kaki kirinya tidak ada!
Perenang itu adalah Jendi Panggabean, perenang difabel Indonesia.
Ketika ditemui beberapa pekan lalu, pemuda asal Sumatera Utara ini sibuk berlatih untuk persiapan Asian Para Games 2018 di Jakarta.
“Harapan saya bisa memberikan medali untuk Indonesia,” ujarnya, merujuk perhelatan pesta olahraga atlet difabel se-Asia pada 6-13 Oktober mendatang.
Ekspektasi Jendi beralasan. Dia adalah peraih lima medali emas pada ASEAN Para Games 2017 di Kuala Lumpur. Tanpa kaki kirinya, dia mampu mencetak sedikitnya empat rekor baru untuk Indonesia.
Kecelakaan motor
Jendi terlahir dengan dua kaki utuh. Namun, pada 2004 lalu, saat usianya masih 12 tahun, dia terlibat kecelakaan motor dan kaki kirinya harus diamputasi.
“Perasaan saya agak sedih, merasa berbeda dengan orang lain karena kaki saya hanya satu. Tapi yang lebih saya sedih itu kepada orangtua. Mereka terpukul lah melihat anaknya dalam keadaan seperti ini,” papar Jendi.
Sesudah kecelakaan, Jendi bersyukur dirinya tidak pernah dirundung alias dibully oleh teman-temannya.
Perasaan minder menghinggapi dirinya ketika memasuki bangku SMA. Tapi, orangtuanya sangat berperan pada periode itu dalam membesarkan hatinya.
“Orangtua selalu menguatkan saya, Kamu harus tetap semangat walaupun dalam keadaan seperti ini, kamu harus berjuang kamu harus bisa seperti normal. Pokoknya kamu suatu saat nanti pasti bisa jadi orang yang berguna lah untuk orang banyak,” papar Jendi menirukan ucapan orangtuanya.
Menjadi atlet
Perkataan orangtua Jendi rupanya perlahan menjadi kenyataan.
Jendi bertemu dengan pelatih yang sedang mencari bibit-bibit atlet difabel. Oleh sang pelatih, dia diajari teknik-teknik khusus untuk berenang mengingat salah satu kakinya tidak ada.
Namun, pemuda itu berkemauan keras. Pada 2012, ketika ada pemusatan latihan daerah untuk persiapan Pekan Olahraga Nasional, Jendi berkukuh berlatih bersama atlet-atlet non-difabel.
“Jadi saya itu latihan sama orang normal karena saya merasa punya tantangan. Kalau saya berenang bersama mereka, otomatis harus mereka, mulai dari berenang mereka, kecepatan mereka, waktu mereka. Tapi kan mereka menggunakan kaki dua dan saya kaki satu,” jelas Jendi.
Pola latihan seperti itu diakuinya menguras tenaga.
“Mereka kan berapa detik lebih cepat dari kita, otomatis kita harus tenaga yang ekstra untuk bisa bersaing sama mereka,” kata Jendi.
Perjuangan itu tidak sia-sia. Dia direkrut menjadi atlet difabel dan sejak 2012 rutin menyumbangkan medali untuk Indonesia dalam berbagai ajang.
“Saya merasa jadi orang normal di dalam air. Ada semangat baru ketika saya ada di dalam air. Dari air saya bisa seperti ini, dari air saya bisa memberikan kebahagiaan untuk keluarga saya.”
Atlet lainnya yang mewakili kontingen Indonesia pada Asian Para Games 2018 di Jakarta adalah Ni Nengah Widiasih.
Dia menjadi salah satu andalan tim Merah-Putih pada cabang olahraga angkat berat mengingat pada Paralimpiade Rio 2016 dia sukses menyumbangkan medali perunggu.
Adapun pada ajang ASEAN Para Games 2017 di Kuala Lumpur, atlet asal Bali itu meraih dua medali emas sekaligus memecahkan rekor.
Perjuangan atlet dengan sapaan Widi ini tidaklah mudah. Sejak berusia tiga tahun, kakinya lumpuh total akibat polio.
“Kalau perasaan minder itu pasti, apalagi usia SD di mana anak-anak yang masih sangat aktif sekali berlari ke sana ke mari, saya hanya istirahat di dalam kelas. Rasanya sedih ,” ujarnya.
Hidupnya berubah ketika mencoba mengikuti latihan angkat beban di Bali pada 2006, saat masih duduk di kelas enam SD.
“Penasaran sekali saya rasanya ketika saya melihat teman-teman. Wow dikasih beban banyak mereka kok dengan mudahnya mengangkat. Saya jadi penasaran, saya harus bisa ini,” tuturnya.
Tiga bulan setelah mengikuti latihan, Widi diikutkan pelatihnya ke kejuaraan nasional. Hasilnya, dia berhasil meraih medali emas untuk Provinsi Bali.
“Saya langsung dapat medali emas, itu rasanya masih wow! Masih , sih ini?”
Setelah mendapat medali emas, setahun berikutnya Widi dipanggil mengikuti pemusatan latihan nasional. Lagi-lagi, dia mengukir prestasi.
“Saya dipanggil pelatnas, itu saya baru SMP kelas 1. Saya latihan kurang lebih sekitar enam bulan terus saya langsung ikut Asian Para Games di Thailand. Di situ dapat medali perunggu,” cetusnya.
Tak perlu waktu lama bagi Widi untuk mendominasi kelasnya. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Para Games pada 2011, dia merebut medali emas sekaligus memecahkan rekor.
“Rasanya luar biasa sekali saya merasa sangat diberkati sekali. Saya merasa Tuhan itu memang baik sekali dengan kondisi saya yang seperti ini ternyata Tuhan punya cara lain untuk menjadikan saya manusia yang lebih berarti buat diri saya sendiri, buat keluarga dan menurut saya itu luar biasa sekali.”
Keluarga pendorong utama
Dengan segala prestasinya, Widi mengaku ada faktor utama yang menjadi pendorongnya untuk maju: keluarga.
Sejak kecil, menurut Widi, ayah dan ibunya tidak pernah merasa malu memiliki anak yang lumpuh. Dia mengaku tidak pernah dikucilkan dari pergaulan.
“Yang membuat saya tetap kuat dan semangat, orangtua saya selalu katakan, `Jangan pandang fisikmu, kamu harus berusaha melakukan sesuatu yang bisa membuat kamu merasa berarti. Tidak usah kamu hiraukan orang lain. Apapun yang orang lain katakan di luar sana tentang kamu, walaupun mereka melihat kamu dengan sebelah mata, biarkan.
“Tuhan punya caranya sendiri untuk menjadikan kamu manusia yang berarti walaupun dengan kondisi kamu yang seperti ini. Kami sebagai orangtua kamu, kami selalu bangga sama kamu karena kamu dilahirkan menjadi anak kami`.”
Pada Asian Para Games 2018 mendatang, Widi mengatakan ada dua atlet Cina yang bakal menjadi rival terberatnya. Baru-baru ini keduanya telah mencatatkan nama sebagai pemegang rekor dunia.
“Jadi memang berat sekali, tapi saya jadikan itu motivasi supaya saya lebih semangat lagi latihan agar bisa bersaing sama mereka,” tandas Widi.