Oleh : Inayatullah Hasyim (Dosen FH universitas Djuanda, Bogor)
Suatu hari, sepasang suami-isteri bertengkar. Dengan nada keras, suami memarahi isterinya. Sang isteri tak mau terima, namun tetap dalam emosi yang terjaga. Diam-diam, dia mengambil koper dan memasukan pakaian-pakaiannya. Singkat cerita, isteri itu ngambek. Dia ingin pulang ke rumah orang tuanya. Demi menyadari sang isteri berada di tengah puncak kemarahannya, suami menghampiri, tersenyum penuh kewibawaan, memeluknya, dan bertanya dengan nada yang sangat lembut, “Mama mau kemana?”. Sungguh, senyuman dan pertanyaan itu meluluhkan hati sang isteri. Dia menjawab, “Aku cuma ingin merapikan baju ke koper, kok, Pa”.
Subahanallah, sungguh benar ketika Rasulallah SAW berkata,
إنما النساء شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم —
“Sesungguhnya, wanita adalah belahan (jiwa) laki-laki. Tidaklah kalian mengormati mereka, kecuali bahwa kalian akan mendapat penghormatan. Dan tidaklah kalian melecehkan mereka, kecuali bahwa kalian akan dilecehkan pula”.
Ibn Hazm al-Andalusi menulis,
الحب – أعزك الله – أوله هزل وآخره جد. دقت معانيه لجلالتها عن أن توصف، فلا تدرك حقيقتها إلا بالمعاناة. وليس بمنكر في الديانة ولا بمحظور في الشريعة، إذ القلوب بيد الله عز وجل — ابن حزم
Cinta — semoga Allah memuliakanmu (para pembaca) — awalnya (boleh jadi) adalah canda, dan (namun) akhirnya adalah kesungguhan. Ia memiliki makna yang sangat dalam hingga sulit diungkapkan. Tak ada yang dapat memahami hakikatnya kecuali dengan menjalaninya. (Cinta) bukanlah sesuatu yang dilarang dalam agama, dan (tidak pula) dilarang oleh syariah. Sebab, setiap hati ada dalam genggaman Allah.
Ibn Hazm kemudian menulis lagi,
وَمِن الدَلِيلِ عَلَى هَذَا أيْضاً أَنَكَ لاَ تَجِد اثْنَيْنِ يَتَحَابَانِ إلاَ وَبَيْنَهُمَا مُشَاكِلَةٍ وَاتفَاقِ الصِفَاتِ الطَبِيعِيَةِ لَا بُدَ مِن هَذَا وَإنْ قَلَ، وَكلُمَا كَثُرَت الأشبَاه زَادتْ المٌجَانَسَةِ وَتَأكَدَت المَودَة فانظٌرْ هَذَا تَراهُ عَيَاناً، وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤكده: “الأرْوَاحٌ جُنٌودٌ مُجَنَدة مَا تَعَارف مِنهَا ائتَلَف وََمَا تَنَاكَر مِنهَا اخْتَلَفَ”،
dan di antara tanda-tanda (keutuhan cinta) adalah engkau tak dapatkan dua orang yang saling mencinta itu kecuali bahwa ada keserasian dan kesamaan sifat yang sangat mendasar (di antara keduanya); betapapun sedikitnya. Dan semakin banyak kesamaan, maka akan semakin utuh rasa (cinta) itu; semakin memperkokoh saling sayang; begitulah kenyataan yang engkau dapati secara kasat mata. Karena itulah, Rasulallah saw berkata, “para ruh adalah pasukan yang saling menyatu; mereka yang saling kenal, semakin merekat; mereka yang saling berselisih; selalu bertentangan”.
Karena itu, semakin banyak kau menemukan kesamaan sifat, semakin rasa cinta dengan pasanganmu itu terikat kuat. Maka semakin banyak kesamaan visi membangun masa depan, kekuatan cintamu akan terus bergelora. Ia sulit berpisah, bahkan hanya untuk sesaat.
Kata Qais bin Mulawah, si gila dalam epik Laila Majnun,
وَجَدْتُ الحبَّ نِيرَاناً تَلَظَّى *** قُلوبُ الْعَاشَقِينَ لَهَا وَقودُ
فلو كانت إذا احترقت تفانت *** ولكن كلما احترقت تعود
Aku mendapati cinta (bagaikan) api yang menyala ***
Dua hati sepasang sejoli adalah bahan bakarnya
Seharusnya, jika telah terbakar punahlah ia *** Namun, semakin sering terbakar, ia justru kembali sedia lagi
Maka, cinta adalah energi yang menguatkan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sayangnya, seringkali, setelah menjadi pasangan yang sah, suami atau isteri justru tak peduli dengan penampilan masing-masing. Suami tak harum, isteri tak wangi. Padahal, ulama bahkan mengatakan, “La tabzirah fil ‘itrah” (tak ada hal mubazir dalam hal wewangin). Maka, jika Anda membeli parfum mahal seharga dua juta, lalu digunakan untuk membahagiakan pasangan Anda, pada setiap hembusan keharumannya bernilai pahala.[]