Oleh Inayatullah A. Hasyim
(Dosen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor)
Akhirnya, Donald Trump memutuskan memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalem (Al-Quds). Sebagian Anda mungkin bertanya, mengapa kita harus gusar dengan keputusan Amerika? Toh itu masalah internal pemerintahan Amerika. Apa hubungan dengan (pemerintahan) kita?
Sebenarnya, ada banyak variabel untuk menjelaskan duduk persoalannya. Di tulisan singkat ini, saya akan menjelaskan beberapa hal saja.
Pertama: Pemindahan kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalam (Al-Quds) adalah “pengakuan sempurna” atas keberadaan negara Israel. Dalam Hukum Internasional, “recognition” atau “pengakuan” adalah salah satu syarat multak berdirinya suatu negara.
Mengapa Indonesia langsung sah sebagai negara setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan? Sebab, Mesir langsung mengakui wujud “bayi” Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946. Terima kasih kepada Alm Kyai Haji Agus Salim yang memimpin delegasi Indonesia ke Mesir dalam rangka mencari pengakuan tersebut. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan kita.
Hal sebaliknya terjadi pada Taiwan. Mengapa Taiwan tak kunjung menjadi sebuah negara yang berdaulat padahal negeri itu memenuhi syarat negara lainnya: yaitu memiliki wilayah, penduduk, pemerintahan?. Satu saja cacat Taiwan, negeri itu tak mendapat pengakuan internasional sebagai negara.
Mengapa tak ada yang berani melakukan itu, termasuk Indonesia? Sebab Tiongkok (RRC) mengklaim Taiwan adalah wilayahnya. Maka, negara apapun yang berani mengakui Taiwan harus berhadapan dengan Beijing.
Itulah pentingnya “recognition” sebagai syarat sah negara. Amerika kini secara sempurna mengakui Israel sebagai sebuah negara sebab presidennya telah mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.
Lebih jauh, dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua: Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso facto dari berdirinya sebuah negara.
Pada kasus Israel ini, ketika Amerika membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain, Amerika masih “malu” pada negara-negara Timur Tengah (juga negara Islam lainnya) untuk mengakui Israel.
Kini, secara deklaratif. Donald Trump mengakui Israel sebab Amerika memindahkan kedutaannya ke Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal, Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Maka, dari sini kita bisa paham, mengapa sikap Amerika itu harus ditolak.
Dari persfektif itulah kita mengerti sikap Presiden Turki, Rajip Tayyep Erdogan, yang mengatakan, “Jerusalem (al-Quds) adalah ambang batas kesabaran umat Islam. Ia merupakan garis merah (yang tak boleh lagi dilewati)”. Erdogan bahkan berjanji akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel jika Amerika memindahkan kedutaannya ke Jerusalem.
Kedua: Sebagai patron politik Timur Tengah, Amerika memiliki pengaruh yang luar biasa. Di Saudi Arabia, misalnya. Seperti kita tahu, sejak lama Saudi Arabia menjalin kerjasama yang mesra dengan Amerika. Maka, sejak Donald Trump berkunjung ke negeri itu, sikap politik raja Salam bin Abdul Aziz terlihat semakin lunak. (Ingat, Saudi Arabia adalah negara pertama yang dikunjungi Donald Trump setelah pelantikannya sebagai presiden).
Maka, misalnya, pada bulan November lalu, Grand Mufti Saudi, Abdul Aziz Al-Sheikh membuat komentar yang mengejutkan. Katanya, memerangi orang-orang Yahudi seperti yang dilakukan HAMAS adalah haram. Pernyataan Grand Shaikh itu disambut suka cita di Israel. Menteri Komuniaksi Israel, Ayub Kara, bahkan mengundang sang Muti untuk berkunjung ke Israel.
Sikap politik Saudi dapat kita jelaskan begini. Sejak lama, Saudi Arabia memiliki hungan mesra dengan Amerika. Hubungan itu menjadi semakin intim menyusul berbagai (ancaman) konflik di Saudi Arabia dan kawasan sekitarnya.
Saudi, misalnya, memiliki potensi konflik dalam hal transisi kekuasaan (Raja Salman ke Pangeran Muhammad) menyusul penahan sejumlah pangeran dan pengusaha beberapa waktu lalu.
Saudi memiliki ancaman eksternal dari kalangan Syiah mulai dari Iran, Houthi (Yaman), Hizbullah (Lebanon) dan Basyar al-Asad (Suriah). Bahkan, penembakan roket ke Riyadh yang dilakukan oleh Houthi menjadi alarm yang mengejutkan.
Ketiga: Membiarkan Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel adalah mengakui perampasan atas tanah Palestina. Seperti kita ketahui, Israel mulai menduduki Tepi Barat (West Bank) dan Jerusalem Timur setelah perang Arab-Isreal tahun 1967.
Sejak itu, Israel terus ekspansif menguasai Jerusalem. Tepatnya, pada tahun 1980, Isarel mendeklarasikan Jerusalem (al-Quds) sebagai “undivided and eternal capital of Israel.” Sampai saat itu, tak ada satupun negara yang mau memindahkan kedutaan mereka ke Jerusalem walaupun memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Kini, kata-kata yang sama, (eternal capital of Israel) digunakan Donald Trump pada konferensi pers Rabu 06 Desember lalu. Memindahkan Kedutaan Amerika ke Israel adalah juga janji politik Donald Trump. Maka, bagi Donald Trump, hal ini adalah janji kampanye yang harus dipenuhinya di tengah ancaman impeachment (pemecatan) akibat dugaan keterlibatan Russia dalam pemenangannya sebagai presiden.
Singkatnya, Trump juga ingin menaikan populeritasnya di tengah ancaman pemecatan. Masalahnya, bagi Eropa dan negara-negara muslim, sikap Trump mengundang amarah. Turki telah tegas menyatakan itu. Palestina menyatakan sikap yang sama.
Saeb Erakat, kepala negosiasi perdamaian Palestina mengatakan, langkah Amerika (dengan mengakui Jerusalem) telah membuat negeri itu tereliminasi untuk memainkan peran dalam segala proses perundingan perdamaain. “Amerika bukan saja menentang perjanjian damai Palestina – Israel, namun berbagai konvensi PBB tentang konflik Arab-Israel.” Kata Saeb Erakat. Bahkan, Paus Fransiskus (Katolik Roma) mengatakan, “biarkan saja seperti sedia kala di Tel Aviv”.
Lalu, apa sikap kita, bangsa Indonesia? Pada saat kampanye Pemilihan Presiden dulu, presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintahannya akan selalu mendukung perjuangan bangsa Palestina. Janji itulah yang kini tengah diuji.
Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat.
Salam: Inayatullah Hasyim ■ twitter @inayatullah_has.