Thayyibah.com:: Pernyataan Junimart Girsang terkait skandal penyadapan percakapan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin, sangatlah menyedihkan.
Junimart menyebut tidak ada masalah dengan penyadapan. Penyadapan tidak dapat disebut illegal selama tidak digunakan untuk kejahatan.
Sebagai anggota Komisi III DPR yang melingkup bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan; kita patut kecewa. Pasalnya, hukum tegas-tegas menetapkan hanya penyidik yang berwenang untuk menyadap. Wewenang itu pun dibatasi, harus dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIII/2015 kian menegaskan hal ini. Penyadapan harus hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar. Jika diperlukan, penyadapan harus seizin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga tindakan itu tidak sewenang-wenang.
Jika mekanisme penyadapan oleh aparat saja sudah amat ketat, mustahil ada wewenang penyadapan oleh pribadi, untuk kepentingan pribadi. Penyadapan pribadi bukan hanya ditolak secara hukum, tetapi merupakan kejahatan melawan hukum. Pelakunya bisa disanksi pidana.
UU ITE dan UU Telekomunikasi dengan jelas mengatur sanksi bagi pelaku penyadapan illegal. Sesuai UU ITE pasal 31 adalah penjara 10 tahun dan/ atau denda maksimal Rp 800 juta. Sementara
pasal 56 UU Telekomunikasi menegaskan pelaku penyadapan illegal dipidana dengan penjara maksimal 15 tahun. Bahkan penyelenggara jasa telekomunikasi yang secara illegal membocorkan informasi pelanggannya dapat disanksi penjara 2 tahun atau denda maksimal Rp 200 juta.
Beratnya sanksi ini menggambarkan betapa bangsa Indonesia memandang penyadapan illegal sebagai kejahatan yang serius. Bayangkan jika setiap orang punya hak untuk menyadap, betapa kacaunya privasi kita. Betapa cemasnya kita untuk berkomunikasi, karena tidak ada lagi privasi. Setiap saat dan oleh setiap orang, privasi kita bisa diinjak-injak. Apa itu yang Junimart inginkan?
Lantas, mengapa Junimart malah berlagak buta hukum? Terang ini terkait dengan posisinya sebagai Kepala Badan Bantuan Hukum PDIP. Junimart melakukan kebohongan publik demi menyelamatkan jagoan PDIP dalam pilkada DKI Jakarta. Dia rela merobek martabatnya sebagai wakil rakyat demi membela arogansi Basuki Tjahya Purnama dalam persidangan penodaan agama tempo hari. Inikah sosok wakil rakyat yang kita banggakan?
Pernyataan Junimart hanya manuver untuk mencegah aparat keamanan membongkar skandal SBY dan K.H. Ma’ruf Amin. Karena berbasiskan UU ITE, penyadapan ini bukan delik aduan. Polisi harus mengusut dari mana Ahok dan kuasa hukumnya memiliki rekaman percakapan itu.
Fokusnya bukan perihal konten penyadapan, tetapi proses. Apakah Ahok dan kuasa hukumnya benar-benar mendapatkan konten itu dengan cara yang legal. Jika tidak dapat membuktikan legalitas itu, maka Ahok dan kuasa hukumnya terancam sanksi pidana.
Indonesia adalah negara hukum, dan salah satu pilar penjaga hukum adalah Komisi III DPR RI. Sayangnya, Junimart lupa akan hal ini. Demi parpol, ia menggadaikan amanat rakyat di pundaknya. Junimart melakukan kebohongan publik demi membela terdakwa penista agama, penghardik ulama.
Miris!
Penulis: Bagas Sanjaya