foto : polhukam.com

Islam dan Kepemimpinan Nasional

foto : polhukam.com
foto : polhukam.com

oleh : Abdul Halim/Kontributir Thayyibah.com

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Jokowi diawal pemerintahannya sering melakukan blusukan untuk melihat secara langsung kondisi rakyatnya dibawah. Hal itu dinilai positif jika diniati untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk pencitraan diri atau lagi menjadi trend para pejabat tinggi negara sekarang ini.

 

Sebenarnya blusukaan itu bukanlah sistim baru, sebab sudah sering dilakukan Khalifah Umar bin Khattab 15 abad lalu di ibukota Madinah. Dimana waktu itu Khalifah Umar sering blusukan pada malam hari dengan ditemani budaknya, untuk mengontrol kondisi rakyatnya di Madinah sebagai rasa tanggungjawab atas kepemimpinan yang dipikulkan ke pundaknya.

 

Maka tidaklah mengherankan jika Khalifah Umar dinilai sebagai salah seorang pemimpin yang berhasil di dunia. Bayangkan, dibawah kepemimpinannya selama 10 tahun, Khalifah Umar berhasil menaklukkan dua super power dunia di abad 7 masehi, yakni imperium Romawi Timur dan Persia.

 

Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar wilayah kekuasaan Kekhalifahaan Islam meluas hingga seperenam belahan dunia, rakyatnya semakin sejahtera, hukum ditegakkan dan semua penganut agama selain Islam dijamin bebas melaksanakan ibadahnya dengan dilindungi negara. Kesuksesan Khalifah Umar dalam memimpin negara jelas tidak bisa dilepaskan dari didikan dan gemblengan guru politiknya, Nabi Muhammad Saw.

 

Kepemimpinan Islam

 

Dengan mengambil peristiwa perintah sholat lima waktu dalam Israk Mikraj, sesungguhnya mengandung beberapa aspek penting dalam kehidupan umat manusia, selain habluminallah (hubungan vertikal dengan Allah Swt) seperti perintah menjalankan kewajiban sholat lima waktu, juga habluminanaas (hubungan horisontal dengan umat manusia) seperti masalah kepemimpinan. Bahkan dalam sholat itu sendiri juga mengandung dimensi kepemimpinan. Dalam kitabnya Qira’ah Siyasiyah Li Sirah Nabawiyah, Syekh Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, Guru Besar Universitas Kuwait menjelaskan, terdapat tiga dimensi politik dan kepemimpinan dalam peristiwa Israk Mikraj Nabi Muhammad Saw.

 

Pertama, dimensi kepemimpinan dunia. Pasalnya, kepemimpinan dunia sebelum terjadinya peristiwa Israk Mikraj berada ditangan bangsa Yahudi Israel. Sebab dua agama Samawi sebelumnya yakni Yahudi dan Nasrani diturunkan dan menjadi agama bangsa Israel. Tetapi para pengemban agama tersebut sudah tidak layak lagi untuk memimpin dunia karena mereka telah mendistorsi agamanya dan mengganti petunjuk-petunjuknya. Sehingga harus ada agama baru yang lurus dengan orang-orang yang bersih dan terpercaya untuk menggantikan dua agama sebelumnya dan menggantikan posisi bangsa Yahudi Israel dalam memimpin dunia.

 

Maka kehadiran Nabi Muhammad Saw di Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis dalam peristiwa Israk Mikraj menjadi pertanda bahwa agama Islam yang dibawanya dan umat Islam yang dipimpinnya bakal memegang tampuk kepemimpinan dengan membawa dunia pada rahmatan lil alamin. Itu sudah terbukti hingga seribu tahun kemudian sampai datangnya impelialisme Barat yang menjajah negeri-negeri Islam.

 

Kedua, dimensi kepemimpinan ideologis. Rasulullah Muhammad Saw menjadi imam ketika sholat bersama para Nabi dan Rasul sebelumnya di Masjidil Aqsha. Hal itu menunjukkan Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin para Nabi dan Rasul yang mayoritas berasal dari bangsa Yahudi Israel tersebut. Sehingga telah terjadi pergeseran kepemimpinan dunia dari bangsa Yahudi Israel kepada umat Islam pengikut Nabi Muhammad Saw.

 

Ketiga, dimensi kekuasaan. Perjalanan Israk Mikraj Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis Palestina, menunjukkan wilayah Palestina yang saat itu menjadi wilayah Romawi Timur (Kekaisaran Bizantium), kelak akan menjadi wilayah kekuasaan Islam.

 

Kepemimpinan Nasional

 

Sebagai negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia memang memerlukan kepemimpinan kuat sekaligus memiliki sifat dan karakter Kenabian. Sebab jika tidak, lambat atau cepat virus disintegrasi bangsa akan menyebar sehingga dikhawatirkan akan mampu memecah belah NKRI.

 

Pertama, seorang pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki sifat shiddiq (jujur). Seorang pemimpin bangsa harus tahan terhadap godaan duniawi berupa harta benda yang melimpah, sehingga memiliki pembawaan kehidupan zuhud. Tengoklah kehidupan Khalifah Umar bin Khattab, meski berhasil menguasai Romawi dan Persia yang kaya raya, namun kehidupan sehari-harinya tetap sederhana bagai rakyat jelata. Juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sebelum jadi Khalifah di era Dinasti Bani Umayah, berprofesi sebagai pedagang berlian dengan kekayaan 400.000 dinar, namun setelah tiga tahun menjabat Khalifah kekayaannya habis tinggal 400 dinar, namun rakyatnya hidup makmur dan sejahtera.

 

Kedua, seorang pemimpin bangsa Indonesia wajib memiliki sifat amanah termasuk amanah dalam memegang jabatan. Sebab jika tidak, maka dalam diri seorang pemimpin itu akan bersemayam virus munafik. Sebab ciri seorang munafik adalah : jika berjanji mengingkari, jika diberi amanah berkhianat, jika berbicara berbohong. Kalau seorang pemimpin sudah tidak bisa dipegang janjinya, selalu berkhianat serta bohong perkataannya, maka sesungguhnya dia telah memiliki sifat-sifat munafik. Jika negara dipimpin orang munafik, maka tunggulah kehancurannya.

 

Ketiga, seorang pemimpin bangsa Indonesia wajib memiliki sifat tabligh, yakni selalu menyampaikan kebenaran dan memberi tauladan kebaikan kepada rakyatnya. Jika perkataan dan tindakan seorang pemimpin selalu berlawanan, maka rakyat tidak akan percaya lagi. Beruntung kalau masih mampu bertahan 5 tahun, bisa–bisa diturunkan ditengah-tengah masa jabataannya.

 

Keempat, seorang pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki fathonah (kecerdasan dan kepandaian). Seorang pemimpin wajib cerdas dengan memiliki IQ yang tinggi, sebab jika pemimpin IQ nya pas-pasan, maka dikhawatirkan dia tidak akan mampu memimpin bangsa sebesar, seluas, sekompleks dan seheterogen bangsa Indonesia ini. Apalagi nanti dalam menjalankan policy hubungan internasional yang sangat kompleks dan rumit dengan bangsa-bangsa lain. Jika seorang pemimpin kurang cerdas, maka hanya akan mengandalkan wakilnya sehingga dalam satu negara akan terdapat matahari kembar dan pasti akan membingungkan anggota kabinet bahkan rakyatnya.

 

Dengan memiliki keempat sifat dan karakter kenabian itu, maka in sya’ Allah seorang Presiden Indonesia siapapun dia akan mampu memimpin bangsa dan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia ini menuju negara yang adil, makmur, demokratis, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo dibawah lindungan Allah Swt.[]

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur