thayyibah.com :: Pertanyaan yang Tidak Mungkin Dapat Dijawab dengan Benar Oleh Pelaku Bid’ah ‘Hasanah. Apakah Bid’ah yang Anda Lakukan Adalah Kebaikan (Hasanah) yang Sudah Diketahui Oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam?
Apabila jawabannya: Ya, beliau sudah mengetahui kebaikan tersebut. Maka jawaban ini mengandung tuduhan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai orang yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai rasul, yaitu mengajarkan kepada umatnya seluruh kebaikan yang beliau ketahui. Karena ternyata ada kebaikan yang beliau sudah ketahui dan belum beliau ajarkan kepada umat. Inilah bahaya menganggap bid’ah sebagai ‘hasanah’.
Al-Imam Malik rahimahullah berkata,
“Barangsiapa berbuat bid’ah dalam Islam yang ia anggap sebagai bid’ah hasanah, maka ia telah menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati tugas kerasulan, karena Allah ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu” (Al-Maidah: 3) Sehingga apa yang hari itu bukan ajaran agama, maka pada hari ini juga bukan ajaran agama.” [Al-I’tishom lisy Syaathibi rahimahullah, 1/65-66]
Andai orang yang mengatakannya bermaksud demikian maka termasuk kekafiran, karena itu berarti pengingkaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan beliau.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib atasnya menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui dan mengingatkan mereka kejelekan yang ia ketahui.” [HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu’anhuma]
Apabila jawabannya: Tidak, beliau belum mengetahui kebaikan tersebut.
Maka jawaban ini mengandung kesombongan dan penyelisihan terhadap petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena kalau begitu orang yang berbuat bid’ah itu secara tidak langsung menganggap dirinya lebih baik dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sebab ia telah mampu mengetahui dan mengamalkan satu kebaikan yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengetahuinya dan tidak pula mengamalkannya.
Ketika seseorang berkata kepada Al-Imam Malik rahimahullah,
“Wahai Abu Abdillah dari mana saya mulai ber-ihram? Beliau berkata: Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ber-ihram. Orang itu berkata: Sungguh aku ingin ber-ihram dari Masjid Nabawi. Beliau berkata: Jangan kamu lakukan. Orang itu berkata lagi: Sungguh aku ingin ber-ihram dari Masjid Nabawi. Beliau berkata: Jangan kamu lakukan, sungguh aku khawatir kamu akan tertimpa fitnah (bencana). Orang itu berkata: Fitnah apakah dalam perkara ini? Padahal aku hanyalah menambah beberapa mil saja! Beliau berkata: Fitnah apakah yang lebih besar dari engkau menganggap dirimu mampu mendahului Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk melakukan satu kebaikan yang tidak beliau lakukan?! Sesungguhnya aku mendengar firman Allah ta’ala,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63) Al-I’tishom lisy Syaathibi rahimahullah, 1/231-232. (put/thayyibah)