Breaking News
Muslim praying at Mekkah with hands up

Abdullah Ibn Al Mubarak: Berhaji di Depan Rumah

Muslim praying at Mekkah with hands up
Muslim praying at Mekkah with hands up

thayyibah.com :: Dua malaikat turun dari langit dan berdialog. Itulah yang dirasakan oleh ulama zuhud yang terkenal pada masa Bani Abbasiyah saat itu, Abdullah ibn al-Mubarak saat bermimpi ketika ia tertidur di masjidil Haram karena keletihan.

“Berapa jumlah kaum muslimin yang menunaikan haji tahun ini?”

“Enam ratus ribu orang”.

“Lalu, berapa orang yang diterima hajinya oleh Allah?”.

“Tak seorang pun kecuali lelaki yang bernama Muwaffaq dari Dasmascus. Bahkan, berkat Muwaffaq, ibadah haji muslim lainnya di terima Allah.

Begitu terbangun, Abdullah ibn al-Mubarak tertegun dengan mimpinya. Ia segera berinisiatif mencari nama yang dimaksud oleh malaikat tadi, Muwaffaq. Setelah ditemukan, ternyata Muwaffaq hanya seorang tukang sol alas kaki, yang bertahun-tahun gemar menabung. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untu memenuhi niatnya, bekal dalam berhaji.

Suatu hari istrinya minta dibelikan makanan. Namun saat pulang dari membeli makanan, ia tertarik dengan kepulan asap yang sumbernya dari sebuah rumah tetangganya. Setelah mengucap salam, Muwaffaq masuk kerumah itu karena sangat penasaran. Apa yang didapatinya sungguh diluar dugaan.

Seorang perempuan tua didapatinya di rumah itu bersama anak-anak yatim yang sedang masak keledai. Bukan keledai umumnya karena itu adalah keledai yang telah mati sebelum disembelih, tepatnya, sudah menjadi bangkai. Dengan perlahan perempuan itu menceritakan, kalau ia tidak punya pilihan lain untuk memasak bangkai keledai itu, karena terpaksa demi perut anak-anak yatim.

Mendengar jawaban yang memilukan itu, miris hari Muwaffaq. Ia segera bergegas menemui Istri. Ia tahu istrinya adalah seorang belahan jiwa yang sabar, tawakal dan orang penuh syukur tentunya imannya sangat kuat. Mereka berdiskusi atas kejadian tadi, dan akhirnya suatu kesepakatan akhirnya diambil, seluruh tabungan yang sedianyan dipakai bekal haji mereka, diberikan seluruhnya kepada tetangga dengan anak-anak yatim tersebut, agar dapat makan dengan layak.

Tiga ratus dirham diangsurkan pada wanita tua itu dengan segala keikhlasan hati dan berharap Allah memberikan jalan keluar yang terbaik untuk keinginannnya itu. Sambil menengadahkan kedua tangannya ke arah langit, Muwaffaq berucap,”Aku telah menunaikan ibadah haji didepan rumahku”.

Kisah yang cukup menohok perasaan. Muwaffaq orang sederhana dengan cita-cita ingin mengunjungi rumahNya, ditelannya dalam-dalam karena merasa ada yang yang lebih penting dari hanya sekedar perjalanan ke Baitullah. Menyantuni anak yatim, bahkan menyita seluruh tabungannya ia dan istrinya yang sabar, seolah tak menjadikan itu sebagai masalah.

Ternyata Islam tak selalu melihat pahala seseorang hanya dari segi kwantitas semata. Seberapa banyak orang menafkahkan hartanya dijalan Allah namun, segi kwalitasnya.

Tak terbayangkan, orang yang berhaji dengan memakan biaya banyak untuk menuju kesana, dan tak semuanya diterima Allah, hingga mereka mengulabinya beberapa kali. Namun kualitas ketaqwaan, ridho juga keikhlasan yang ditunjukkan oleh Muwaffaq bisa mengalahkan ratusan ribu jamaah haji, hanya dengan memberi makan orang miskin dan anak yatim..

Untuk kita harus berhati-hati menyikapi ibadah yang hanya terlihat “show” saja. Berapa orang mempunyai alasan ibadah haji yang berkali-kali dilakukan. Mungkin yang kedua kali alasannya memperbanyak pahala, atau mengulang haji pertama yang dianggap tak sempurna, namun apabila hanya berniat supaya dapat status dimata masyarakat maka hajinya itu bisa dikatakan haram.

Mengapa ia tidak sedekahkan saja biaya untuk melakukan perjalanan haji itu, agar lebih bermanfaat kepada kaum fakir miskin, hingga malah membuat pahala yang lebih besar dan tak menjadi sia-sia.

Menyantuni anak yatim, memberikan sedekah pada kaum fakir miskin adalah hal yang sangat utama, untuk mengentaskan kemiskinan, menggembirakan mereka adalah bermanfaat lebih besar dan luas. Pahalanya bukan hanya sepuluh kali lipat, melainkan lebih dari tujuh ratus lipat. Seperti firman Allah,

“Perumpamaan (manfaat) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, yang setiap bulir mengandung seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa saja yang dikehendakinya. Allah Maha luas(karunianya) dan Maha Tahu” ( Al Baqarah :261)

Oleh: Candra Nila Murti Dewojati

Referensi: Candra Nila Murti Dewojati, 2011, Masuk Surga Walau belumPernah Shalat, Penerbit Khalil, GPU Jakarta

About A Halia