thayyibah.com :: Dipaksa Hentikan Risetnya, Kasus Dr. Warsito Diduga Kuat Korban Kolusi Korporasi Besar Dengan Birokrat Negara. Indonesia memiliki banyak ilmuwan cerdas yang diakui dunia internasional. Namun sayang, keberadaannya sering tidak diakui oleh pejabat negeri ini atau bahkan dilarang untuk meneruskan risetnya. Kenapa? Biasanya, riset yang dilakukan menemukan “sesuatu” yang lebih canggih dan murah, sehingga penemuannya ini akan “membunuh” alat-alat atau perangkat sejenis yang sudah diproduksi secara massal oleh pabrikan besar.
Dalam bahasa sederhana, korporasi besar padat modal terancam berkurang keuntungannya oleh kehadiran “sesuatu” yang telah ditemukan oleh peneliti tersebut. Dan bukan rahasia umum lagi jika birokrat di banyak negara, para pejabat elit negara, dan lembaga-lembaga riset negara, sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi-korporasi besar, sehingga akan mematuhi segala titah korporasi-korporasi besar tersebut.
Demi fulus yang mereka terima dari korporasi besar, mereka sudi menghentikan riset yang dilakukan putera-puteri terbaik bangsanya sendiri. Bisa jadi, inilah yang sedang dialami Dr. Warsito Purwo Taruno. Siapa beliau?
Dr. Warsito Purwo Taruno (lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967) adalah ilmuwan Indonesia. Studi S-1, ia tempuh di Tokyo International Japanese School, Tokyo, tamat tahun 1988. Kemudian ia melanjutkan studi ke jenjang S-2 di Shizouka University jurusan Chemical Engineering, lulus tahun 1992. Masih di universitas yang sama, Warsito kemudian meraih gelar M. Eng tahun 1994 dan gelar Ph.D Electronic Science and Technology tahun 1997.
Dr. Warsito adalah penemu teknologi ECVT atau Electrical Capacitance Volume Tomography. ECVT mirip dengan USG/CT Scan dan MRI yang banyak digunakan di dunia medis. Namun tak seperti CT Scan dan MRI yang hanya digunakan untuk melihat apa yang terjadi di dalam tubuh manusia, ECVT jauh lebih canggih karena pasien tak perlu masuk ke dalam tabung seperti alat MRI yang cuma menampilkan gambar dua dimensi.
Pada 30 November kemarin, melalui laman facebooknya, Dr. Warsito menyampaikan Surat Terbuka. Beliau mendapat surat dari sebuah lembaga agar menghentikan semua kegiatan pengembangan riset di Indonesia.
Berikut surat terbuka Dr Warsito:
“12 tahun yang lalu hari-hari ini, saya kehilangan data riset saya hasil kerja selama 15 tahun. Komputer laptop terakhir saya ‘crash’ setelah berhari-hari menjalankan program rekonstruksi data pemindaian. Sebelumnya 2 komputer lain yang menyimpan data backup hangus tersambar petir, 2 lagi juga ‘crash’ terlebih dahulu karena tak mampu menjalankan program.
Ketika baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, langit bagaikan runtuh, seolah-olah mengatakan: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia.”
Tak ada ‘shock’ yang lebih berat dari itu yang pernah saya alami dalam hidup saya hingga membuat saya seminggu lebih tak mampu keluar rumah.
Tetapi hal itu tak merubah niat saya untuk mencoba membangun riset di Indonesia. Dari puing-puing akhirnya ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) lahir, hari-hari ini 12 tahun yang lalu di sebuah ruko di Tangerang. Tahun berikutnya paten ECVT didaftarkan di PCT. 3 tahun kemudian ‘granted’. Tahun 2006 ketika polemik sedang panas-panasnya tentang ECVT, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. 2007 jurnal ECVT terbit di IEEE Sensors Journal, dengan alamat Fisika UI. 2008 Dept Energi Amerika memakainya sebagai model sistem pemindaian untuk pengembangan ‘Next generation power plant’ dan untuk verifikasi hasil simulasi supercompter skala penta-eksa.
Di Indonesia ECVT berkembang lebih banyak ke aplikasi di bidang medis, bekerja sama dengan Fisika Medis UI, Biofisika ITB, Biologi IPB, Litbangkes, Metalurgi Untirta, Kedokteran Unair, Biomedik UIN, Biomedik ITS, Univ. Kyoto dan lain sebagainya. Di Indonesia lahirlah teknologi pertama di dunia: Breast ECVT untuk screening breast cancer secara 4D dan instant, serta Brain ECVT untuk pemindaian aktifitas otak secara 4D dan real time.
Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), didaftarkan paten Indonesia 2012. ECCT dan ECVT adalah setara dengan radioterapi untuk terapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.
ECVT dan ECCT jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT misalnya kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan (dibersihkan, tanpa tanda kutip) dengan ECCT.
ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.
Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.
ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain.
12 tahun kemudian sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di tem pat yang sama saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar saya menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia. Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia?” (put/thayyibah)
Warsito P. Taruno
Tangerang, 30 November 2015