Breaking News
Restoran Solaria. Ada petunjuk menggunakan unsur babi dalam menunya, (Foto : bataviatijger.wordpress.com)

Pelajaran dari Solaria yang Haram itu, Saatnya MUI Lindungi Pengusaha Rumah Makan Muslim

Restoran Solaria. Ada petunjuk menggunakan unsur babi dalam menunya, (Foto : bataviatijger.wordpress.com)
Restoran Solaria. Ada petunjuk menggunakan unsur babi dalam menunya, (Foto : bataviatijger.wordpress.com)

thayyibah.com :: Hasil inspeksi mendadak (sidak) Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Timur bersama Dinas Peternakan setempat di Restoran Solaria Balikpapan, Senin (23/11/2015) itu mendapat perhatian luas.

Pasalnya, tim sidak menemukan dua bumbu di restoran Solaria, yang terletak di satu pusat perbelanjaan di Jalan Jenderal Sudirman Balikpapan itu positif mengandung unsur babi di dalamnya.

Dengan adanya kasus ini, bisa saja MUI mencabut sertifikat halal yang telah diberikan kepada Solaria. Disamping itu, kepada Solaria juga perlu diberikan “hukuman” dari pihak berwenang sesuai perundangan yang berlaku. Karena dengan adanya temuan ini berarti Solaria telah melakukan penipuan terhadap masyarakat, terutama konsumen Muslim.

Sebenarnya, jika saja MUI jeli, Solaria sudah harus diselidiki kehalalannya sejak tahun 2013. Dalama tahun itu, sebuah artikel beredar di media sosial menyebutkan Solaria punya menu yang wajib memasukkan unsur babi.

Artikel itu menyebutkan dosen akuntansi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Ph.D yang mengisahkan tentang arogansi Solaria yang haram itu.

“Ada kerabat yang mau beli franchise Solaria. Tapi ketika mau bikin kontrak perjanjian, ternyata pihak pemilik franchise mewajibkan penggunaan angciu dan minyak babi dalam beberapa masakan.”

Hal itu dikomentari oleh teman saya, “Lho itu kan haram?”

Tapi jawaban pemilik franchise arogan dan mencengangkan, mereka mewajibkan menu di Solaria menggunakan minyak babi dan angcu.

“Di sini (solaria) wajib pakai itu. Lagian kita gak pakai label halal kok. Kalau gak mau ya sudah,” ujar pihak Solaria seperti yang tertulis dalam artikel yang beredar luas itu.

Kasus Solaria ini mengingatkan kita pada kasus produk abon di Surabya beberapa waktu lalu. Produk abon tersebut telah mencantumkan label halal pada kemasannya, namun belakangan diketahui mengandung unsur babi. Produk ini bisa dapatkan sertfikat halal karena waktu oleh proses MUI, pemiliknya yang non Muslim itu tidak ikutkan bahan babi. Setelah pemiliknya mengantongi sertifikat halal, bahan babi berupa minyak dan penyedap dicampur dalam abon sehingga rasanya lebih gurih dan lezat, disamping hargnya lebih murah.

Belajar pada Jepang dan Yahudi

Memang harus diakui, bahwa pemilik restoran, terutama di kota-kota besar banyak dimiliki pengusaha non Muslim. Apalagi restoran waralaba dari mancanegara, kepemilikan dan menejemennya bukan dikendalikan oleh Muslim.

Meski Muslim di negeri ini mayoritas, namun negara dan MUI tidak bisa memaksa pengusaha rumah makan yang bukan Muslim untuk menampakkan label halal di restorannya. Walau dengan alasan untuk untuk melindungi konsumen Muslim sekalipun. Karena bagi pengusaha non Muslim, ‘halal’ adalah terminoligi Islam yang tentu saja bertentangan dengan akidah mereka. Dengan demikian, penggunaan label halal, apalagi dengan huruf Arab, hanya boleh dipakai oleh rumah makan yang pemiliknya Muslim.

Sedangkan bagi rumah makan yang pemiliknya non Muslim bisa dianjurkan memasang label ‘Tidak Mengadung Babi dan Minyak Babi’ atau ‘Tidak Mengandung Alkohol’ jika memang menu di dalamnya tidak mengandung unsur haram.

Dengan demikian, umat Islam bisa dengan jelas membedakan mana rumah makan yang halal dan mana yang haram untuk dikunjungi apalagi makan dan minum di dalamnya.

Pengidentifikasian rumah makan yang pemiliknya Muslim dan bukan Muslim sudah dilakukan oleh Jepang. Di negeri sakura itu, pemilik rumah makan yang Muslim dan non Muslim diberi tanda. MUI harus bisa mencontoh seperti di Jepang ini walaupun Muslim di sana minoritas.

Di Jepang ada beberapa kategori yang dipasang pada Restoran Halal yang bisa dijadikan sebagai pedoman untuk mencari makan. Kategori M artinya menggunakan daging halal, kategori O  mendandakan pemilik atau kokinya adalah Muslim. Kategori i A  untuk menu yang tidak ada alkohol. Kategori V untuk menu vegetarian sedangkan kategori C untuk rumah makan bersertifikasi halal.

Lain halnya dengan dengan negara Yahdi. Di sana mereka memberlakukan peraturan yang lebih ketat. Bagi Yahudi, ada istilah ‘Kosher’ bagi makanan atau hewan yang boleh dikonsumsi. Sedangkan lawannya yang tidak boleh dimakan disebut ‘Trefa’ atau ‘Trayfah’.

Dalam beberapa referensi kosher mirip dengan pengertian halal dalam Islam. Misalnya, kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan ternak harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas. Karena kemiripan pengertian dua istilah itu, maka orang-orang Yahudi mempromosikan Kosher Foods adalah makanan yang halal bagi Muslim.

Kosher juga ada sertifikatnya sehingga pemerintah Amerika umpanya, tidak merasa perlu lagi membuat sertifikat halal untuk konsumen Muslim. Semangat ini kemudian dikampanyekan dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, konsumen kosher foods jauh melebihi jumlah konsumen pemeluk Yahudi Ortodok, yang menghendaki makanan kosher. Hal ini disebabkan karena uslim dan Kristen Advent juga ikut menjadi konsumen kosher.

Kaum Yahudi sangat getol memperkenalkan kosher foods ke segenap penjuru dunia, dengan sasaran utama umat Islam. Dengan demikian posisi tawar sertifikasi kosher semakin meningkat di mata para produsen makanan, sehingga lembaga sertifikasi kosher dapat menekan para produsen agar berproduksi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka tetapkan. Yahudi sudah membangun gagasan kosher ini sejak tahun 1967.

Proses sertifikasi kosher ini, menurut pengakuan para pelaku bisnis, sangatlah rumit dan berbelit-belit. Jauh lebih kompleks dibandingkan dengan persyaratan halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI. Misalnya dalam proses penyembelihan hewan, mereka harus mengawasi benar tata cara penyembelihan seperti yang mereka inginkan. Bukan saja para penyembelihnya yang harus diawasi dengan ketat, tetapi juga potongan-potongan dagingnya juga diawasi, karena mereka tidak makan bagian-bagian tertentu dari karkas.

Masyarakat Yahudi menginginkan agar umat Islam memakan kosher foods, tetapi mereka sendiri tidak mau mengkonsumsi halal foods. Itu artinya kendali ekonomi dunia akan mereka kuasai, bukan saja dalam skala makro, tapi juga yang menyangkut kebutuhan harian orang per orang, khusus konsumen Muslim. Mereka juga berkeinginan mempopulerkan istilah kosher dalam perdagangan internasional.

Meskipun sekilas mirip antara halal dan kosher, sebenarnya keduanya berbeda. Ada barang haram yang masuk kategori kosher, sebaliknya ada juga makanan halal yang masuk dalam kategori treyfah. Sebutlah misalnya, anggur (wine) termasuk minuman yang masuk dalam kategori kosher tetapi tidak halal. Begitu juga semua jenis gelatin (tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa, termasuk babi) termasuk kosher tapi tidak halal dalam Islam.

Di sisi lain, ada juga makanan yang halal dan thayib menurut Islam, tetapi tidak kosher menurut Yahudi. Contohnya adalah kelinci, unggas liar, ikan yang tidak bersirip atau bersisik, kerang, dan tidak boleh makan daging bersama susu kecuali waktu makannya terpisah. Selain itu potongan-potongan daging tertentu, meskipun dari hewan yang halal, juga dianggap tidak kosher.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa halal berbeda dengan kosher foods milik Yahudi. Keduanya berangkat dari landasan filosofis dan ideologis yang berbeda.

Untuk kita di Indonesia yang mayoritas Muslim dan memiliki lembaga yang kredibel seperti MUI ini, seharusnya mau belajar pada Jepang dan Yahudi. Ini tidak apa-apa, toh Rasulullah juga pernah bermuamalah dengan Yahdudi.

MUI harus memainkan peranannya sebagai lembaga yang bisa mendorong pasar atau konsumen Muslim sehingga lebih optimis terhadap produk-produk halal sekaligus memberi label halal kepada rumah makan yang jelas kepemilikannya seorang Muslim. Pada saat yang sama, MUI tidak perlu memberikan label halal kepada rumah makan yang jelas pemiliknya bukan Muslim, sekaligus memberi tanda bahwa dalam rumah makan tersebut bisa terdapat makanan dan minuman yang subhat atau bahkan haram. Dengan demikian umat Islam akan terlindungi haknya sebagai konsumen dan fitrah dirinya juga terlindungi dari makanan dan minuman yang haram.

 

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.