Hadits Bukti Keunggulan & Keistimewaan Islam
thayyibah.com :: Di antara keunggulan dan keistimewaan Islam yang tidak terdapat dalam agama lain adalah, dalam masalah hadits. Ia memiliki sistem sanad atau sistem transmisi, sehingga setiap yang dikatakan oleh Rosululloh semuanya bisa dilacak kebenarannya. Dalam Islam, al-Qur’an dan al-Hadits mempunyai silsilah keguruannya. Sehingga dapat dikatakan, bahwa hadits memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal inisekaligus menepis anggapan orang-orang orientalis barat yang menuduh bahwa hadits itu buatan para ulama.
Pada zaman Nabi, boleh dikatakan tidak ada pemalsuan hadits, sebab Nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan. Begitu juga pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar , keduanya sangat teliti dan hati-hati terhadap penerimaan dan penyampaian ajaran-ajaran Nabi. Karena itu pada masa ini dapat dikatakan belum ada pemalsuan hadits. Barulah pada masa Kholifah Utsman bin Affan (tahun 644 M-656 M) beberapa orang dari para pengikut Abdulloh bin saba’ (seorang munafik yang ulung) telah mulai berani melancarkan fitnah dan provokasi dikalangan umat Islam dengan tujuan memecah belah umat Islam dan untuk menimbulkan kebencian umat Islam kepada Kholifah yang sah, sehingga menyebabkan terbunuhnya Kholifah Utsman bin Affan . Mereka telah berani membuat kebohongan dalam ajaran-ajaran Nabi dengan membuat dan menyebarkan hadits-hadits palsu. Begitu juga pada masa pemerintahan ‘Ali , muncul fitnah yang berasaldari orang-orang munafik yang menyebabkan pecahnya perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah .
Kelompok Pertama Pemalsu Hadits
Dari sana, tercatatlah dalam sejarah ilmu hadits bahwa kelompok-kelompok politik adalah kelompok yang pertama kali membuat hadits palsu. Sebagaimana hal ini pernah dikatakan oleh seorang ulama besar yang bernama Muhammad ibnu Sirin,“Para ulama hadits tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rowi-rowimu, bila dilihat yang menyampaikannya adalah seorang Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul Bid’ah maka haditsnya ditolak.” (Lihat Muqoddimah Shahih Muslim I/14)
Di masyarakat kita, eksistensi hadits-hadits palsu masih banyak dijumpai, bahkan laku keras. Sebab, biasanya hadits palsu memberikan janji-janji pahala yang sangat besar, padahal amalan yang dilakukan sangat ringan. Bila kita telusuri di dalam kitab-kitab sejarah Islam, bahwa sebab-sebab terjadinya pemalsuan hadits adalah sebagai berikut:
Perbuatan kaum zindiq dan ilhad
Ketika salah seorang zindiq yang bernama Abdul Karim bin ‘Auja’ akan dihukum mati oleh seorang penguasa Bashroh pada zaman Khilafah al-Mahdi pada tahun 160 H, ia berkata, “Sesungguhnya aku telah memalsukan hadits pada kalian sebanyak 4000 hadits palsu, aku haramkan padanya perkara yang halal dan aku telah halalkan padanya perkara yang haram.” (Lihat al-Ba’itsul Hatsits [I/254])
Sikap ta’ashshub (fanatik) terhadap negara, bahasa, atau golongan tertentu
Sebagai contoh, hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik kepada imam tertentu, “Akan ada dari kalangan umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yakni Imam Asy-Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada iblis. Dan akan ada di kalangan umatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah lampu penerang bagi umatku.” (Lihat al-Maudhu’at [II/49])
Anggapan baik bagi kaum yang memalsukan hadits
Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Alloh. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi. Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi , “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh )
Kemudian mereka berkata, “Kami tidak berbohong untuk merusak nama atau syari’at Nabi , akan tetapi kami berbohong untuk membela beliau .”
Qashshash (para tukang cerita atau tukang dongeng)
Adanya orang-orang yang memiliki hobi bercerita dan memberi nasihat, namun kurang bekal ilmu. Ini terjadi pada akhir zaman Khilafah, dan semakin banyak pada zaman setelahnya. Mereka memalsukan hadits dalam cerita-cerita mereka demi uang dan supaya orang-orang yang mendengarnya kagum kepada mereka. (Lihatal-Ba’itsul Hatsits [I/258] dan al-Maudhu’at [I/46])
Perselisihan politik
Akibat terjadinya gejolak politik, muncullah banyak kelompok yang masing-masing ingin menguatkan kelompoknya meskipun dengan jalan memalsukan hadits. Kelompok yang paling banyak melakukan hal ini adalah Syi’ah.
Kaum yang memalsukan hadits demi kepuasan hawa nafsu para penguasa
Di antara kalangan ulama, ada sebagian ulama berhati jahat yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Mereka ‘menjilat’ penguasa dengan mendatangkan fatwa, pendapat dan hadits palsu untuk menyenangkan penguasa tersebut. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrohim ketika ia mendatangi al-Mahdi, seorang pemimpin Bani Abbasiyyah.
Terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah akidah dan fikih
Ada berbagai golongan yang sangat fanatik terhadap golongannya masing-masing. Sehingga ada diantara mereka yang sampai berani memalsukan hadits demi mendukung pendapat golongan mereka. Sebagai contoh adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi bersabda,“Barang siapa yang mengangkat kedua tangannya setelah ruku’ maka tidak ada shalat baginya.” (Lihatal-Maudhu’at [II/197])
Oleh Karena itu, dikarenakan fungsi hadits Nabi sangat urgen bagi umat Islam dan kedudukan hadits yang merupakan sumber otentik hukum Islam sepertihalnya al-Qur’an, maka perlu sekali untuk berhati-hati dalam mengambil atau menggunakannya. Keaslian suatu hadits harus dijaga, dengan cara seselektif mungkin menerima riwayat yang sampai kepada kita.
Untuk menyelamatkan hadits Nabi di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadits palsu, maka ulama hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits, diantaranya adalah ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang bukan berasal dari Nabi , baik yang berupa ucapan, tindakan maupun ketetapan tidak dapat dinamakan Hadits. Andaikata ada yang menyebutnya sebagai hadits, maka sudah tentu adalah hadits maudlu’ atau palsu, yaitu: hadits yang dibuat-buat atau diciptakan seseorang secara dusta atas nama Nabi , baik dengan sengaja atau tidak sengaja. Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan, kekeliruan ataupun kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung berdusta, tetapi tetap saja riwayatnya dinamakan maudlu’ (palsu). Wallohu a’lam.
Sumber: http://www.hasmi.org/