thayyibah.com :: Pagi hari, setelah malamnya tersebar berita tentang meledaknya bom dan penembakan di Paris, Prancis, seorang teman bertandan ke rumah. Teman ini hanyalah seoarang guru SMP swasta tak jauh dari rumah. Dia tidak pernah membaca koran secara rutin, perkembangan Indonesia dan dunia hanya diikutinya di televisi atau membaca di media sosial.
Lalu teman ini membuka pembicaraan tentang paristiwa Paris semalam. Menurutnya, pelaku teror ini akan tertangkap hanya dalam hitungan hari. Nanti ada identitas pelaku yang terlacak di TKP, baik itu berupa KTP, paspor atau wajahnya akan terekam lewat CCTV.
Nanti juga pemerintah atau otoritas Prancis akan merilis nama pelaku yang berbau Islam dan akan juga video yang memperdengarkan pelaku berteriak Allahu Akbar.
“Lalu, bagaimana dengan pelakunya sendiri?” tanya saya. “Ya, matilah,” begitu jawab kawan ini singkat. Karena mati di TKP maka pelakunya tak bisa dikonfirmasi dan diklarifikasi.
Keterangan kawan ini sepertinya tidak memerlukan titel sebagai ‘pengamat teroris’ untuk memprediksi apa yang akan terjadi sesaat setelah terjadi toror. Tak perlu seperti Alkhaidar, yang sudah dilekatkan pada dirinya sebagai ‘pengamat teroris’. Lihat saja, penampilannya di TV One setelah peristiwa itu meletus, apa yang diungkapkannya bisa ditebak,
Begitu pula dengan pelaku dan pengamat intelijen, Ansyaad Mbay. Apa yang disampaikan diberbagai media dan apa yang direkomendasikan kepada pemerintah, juga bisa ditebak sebelumnya.
Semua orang, mulai dari kepala negara, pemimpin umat, kepala ormas dan organisasi lalu “berebut” tampil di media untuk mengutuk pelakunya, mengutuk konspirasi di belakangnya serta, dan ini yang penting, menyudutkan Islam.
Televisi mulai hadirkan dialog-dialog tentang terorisme dan fundamentalis Islam. Koran dan majalah hadirkan tulisan berupa opini dan analisa yang sama saja konten dan rekomendasinya.
Sebentar lagi pemimpin dunia akan kumpul, lalu Netanyahu hadir mengutuk terorisme yang sesungguhnya dirancang sendiri oleh dia dan sahabat-sahabat Barat-nya.
Para penggerak LSM dalam negeri yang sering mendapat “susu” dari lembaga donor dari Eropa, Amerika, Australia atau Israel, sebentar lagi akan “berteriak” anti kekerasan atas nama agama. Untuk itu mereka membuat kegiatan, aksi, diskusi, publikasi dan sebagainya yang pada ujungnya mereka mendapatkan uang banyak dari situ. Mereka menampakkan wajah mereka seolah-olah paling peduli dengan kemanusiaan, padahal mereka sesungguhnya orang-orang yang paling girang menyaksikan muslim tiap hari dan tiap jam dibantai di Palestina, di Irak, di Afganistan, di Syria, di Myanmar dan lain-lain.
Adalah mudah bagi kita untuk menebak, apa yang akan terjadi setelah kausu teror ini. Amerika dan Eropa akan menekan PBB untuk memberikan restu kepada angkatan bersenjata mereka untuk melakukan tekanan dan penindasan terhadap sebuah wilayah dan masyarakat Muslim.
Teror Paris adalah sebuah pengalaman dan agenda Barat yang berulang-ulang. Ingatkah kita tentang kasus Holocaust? Mereka tega membunuh Yahudi yang merupakan bagian dari diri mereka sendiri supaya mendapat belas kasihan dunia, sehingga dikasih negara di tanah Palestina.
Teganya mereka membunh bangsa sendiri dalam kasus 9/11 supaya mereka mendapat legitimasi untuk menghancurkan Afganistan. Konspirasi senjata kimia diciptakan supaya mereka leluasa menguasai Irak. Bom Bali telah memberikan legitimasi kepada mereka untuk menciptakan Densus 88 dan melahirkan UU Anti Terorisme yang akhirnya boleh menakut-nakuti sekaligis membunuh orang yang dicurigai. Pada akhirnya, Isalam dan umatnya akan tersudut.
Jadi, biarlah mereka membunuh ratusan orang sesama saudara mereka, asalkan mereka dapatkan legitimasi demi sebuah konspirasi menyudutkan dan memerangi Islam.
Mereka menciptakan ISIS di Syria dan Irak namun tampaknya akan gagal total. Skenario Barat untuk menghancurkan Presiden Syria, Bassar-Al Assad lewat ISIS juga gagal total. Barat memang berhasil membuat negara Syria dan Iraq sebagai negara gagal. Kedua negara ini porak-poranda dan menciptakan korban tewas ratusan ribu orang. Lalu jutaan orang mengungsi ke berbagai negara Eropa. Ini tragedi besar kemanusiaan di abad ke-21 pasca perang dunia kedua. Namun Barat gagal menyingkirkan Assad. Prediksi mereka bahwa Assad akan dihukum gantung oleh rakyatnya dalam setahun, ternyata salah besar. Sudah 4,5 tahun Assad tetap duduk di kursi Presiden Syria dengan lumuran darah rakyatnya. Syria bukanlah Libia. Assad, bukanlah Khadafi. Kalau barat dengan gampangnya menyingkirkan Presiden Libia Muhammad Khadafi, tidak demikian dengan Assad. Assad jauh lebih kuat dari perkiraan.
Bisa jadi, dengan kasus Paris ini, Eropa dan Amerika akan memaksa PBB memberikan legitimasi kepada mereka untuk kembali menghancurkan Syria dengan kekuatan yang lebih terbuka. Dengan dalih memburu ISIS yang sesungguhnya biknan mereka sendiri, kemudian Syria juga negara Islam disekitarnya akan diluluhlantahkan, seperti Irak dan Afganista. Sedankan di tanah air, para penggiat dakwah akan dituduh sebagai pendukung ISIS, lalu mereka “dibungkam”.