Breaking News
ilustrasi

Survey dan Hukum Islam

Ade Armando (inet)
Ade Armando (inet)

thayyibah.com :: Nama Denny JA mungkin tidak lagi asing bagi kita. Nama ini popular ketika Indonesia memasuki era demokrasi yang lebih terbuka, yakni ketika presiden dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Denny JA dengan Lingkaran Survery Indonesia (LSI) “menjual” jasa survey, konsultan sekaligus tim sukses untuk kandidat yang bertarung, juga melakukan perhitungan cepat pasca pemilihan.

Belakangan, ketika musim pemilu dan pemilukada sepi, Denny JA dan lembaganya terus melakukn survey-survey terhadap masalah yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Tak jarang tema survey yang diusung menyentuh hal-hal yang menyangkut keyakinan essensial masyarakat. Paling anyar, Denny JA dan lembaganya melakukan survey soal ‘setujukah Anda dengan pernyataan Ade Armando bahwa sebaiknya kita stop saja program naik haji dan umrah”.

Survey “gila” ini bermula dan tulisan Ade Armando, seorang pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) di media milikinya: Madaniaonline.id yang berjudul “Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat ini”.

Di situ Ade Armando menulis, “Melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali kewajiban umat Islam untuk naik haji.” Pada bagian lain Ade Armando menulis, “Saya menulis untuk orang yang masih percaya ,bahwa tidak ada hukum Islam yang kaku, absolut, dan tidak dapat ditafsirkan ulang. Saya tidak ingin mengatakan bahwa segala sesuatu itu relatif. Namun saya percaya bahwa sebuah hukum yang dipercaya sebagai kebenaran di masa lalu bisa saja dipertimbangkan kembali sesuai konteks keadaan. Sesuatu yang tampak baik dan logis di masa lalu di tempat tertentu bisa saja menjadi tampak merugikan dan tidak masuk akal di masa kemudian dan di tempat berbeda.”

Seperti biasa, semua tulisan Ade Armando yang menggugat sikap keberagamaan umat Islam mendapat penolakan yang hebat. Demikian pula dengan tulisan ini. Namun, penolakan itu masih perlu “dilawan” oleh Denny JA dengan melakukan survey. Sayangnya, dalam pengantar survey, Denny JA mencoba membelokkan konten tulisan Ade Armando. Di situ Denny JA mencoba menggiring opini masyarakat, bahwa Ade Armando (hanya) mengkritisi program haji semata bukan pada hukum wajibnya. Itu artinya, penekanannya lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara program. Padahal, sangat jelas dalam tulisan Ade Armando itu, bahwa hukum wajib haji yang perlu ditinjau kembali.

Untuk mempertegas pendapat bahwa hukum wajib haji (Ade Aramando) dan program penyelenggaraan haji perlu ditinjau kembali, kedua orang ini memberikan alasan, bahwa dana haji sebesar sekitar 30 trilyun setiap tahun itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk aneka kesejahteraan masyarakat.

Sudah bisa dibayangkan, jika Denny JA dan Ade Armando bisa menggiring masyarakat dengan manipulasi data peserta dan hasil survey, sehingga membenarkan pendapat dan keinginan keduanya. Dengan demikian pendapat mereka berdua mendapat pembenaran bahwa ibadah haji tidak lagi wajib hukumnya, sehingga pemerintah tak perlu lagi melakukan program pemberangkatan dan pelayan rakyat Indonesia dalam menunaikan ibadah haji. Untuk mendukung keinginan dan cita-cita itu, mereka memanfaatkan media sebagai sarana menyebarkan pendapat mereka. Mereka juga sudah pasti mendapat “kekuatan” finansial dari Barat untuk mensukseskan program ini, sebagaimana yang selama ini dicurigakan masyarakat kepada mereka.

Kemungkinan ini bukan hal yang mustahil. Karena hal ini sudah pernah terjadi pada masalah poligami. Mereka yang anti poligami –ini sebangun dengan anti Islam—telah melakukan berbagai studi, penelitian, kajian dan surey yang menyimpulkan bahwa poligami itu membahayakan sehingga perlu dilarang dan dilawan. Padahal sangat jelas kalau studi, penelitian dan survey yang mereka lakukan penuh unsur subjektif serta dibiayai oleh kalangan anti Islam.

Jika pendapat dan usaha Ade Armando bersama Denny JA ini tidak kita tolak sekarang, maka ke depan mereka akan “melawan” syariah Islam dengan survey-survey yang menyesatkan. Untuk melegalkan judi, mereka melakukan suvery pada masyarakat pecinta judi. Hasilnya jelas, judi itu halal dan menguntungkan. Untuk melegalkan pelacuran, mereka lalukan survey pada masyarakat penghuni lokalisasi. Hasilnya jelas, pelacuran itu halal dan menghidupkan banyak orang. Untuk menghalalkan dan melegalkan minuman keras, mereka melakukan survey pada masyarakat yang memproduksi dan penikmatnya, maka jelas minuman keras itu menjadi halal dan produktif. Akhirnya, status hukum Tuhan ditentukan oleh hasil survey bukan pada kitab suci yang diturunkan-Nya. Naudzubillahi min dzaalik. (darso/thayyibah)

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.