thayyibah.com :: Tulisan ini adalah bagian dari sebuah kewajiban kita sebagai sesama muslim untuk saling mengingatkan dan diingatkan. Semoga tulisan ini bisa memberi banyak arti untuk kita semua.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya yg begitu banyak kepada kita semua. Nikmat iman, islam, nikmat panjang umur sehingga kita masih bisa merasakan nikmat Allah yg selalu diberikan tanpa kita harus mengemis memintanya. Shalawat serta salam juga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Sejujurnya, aku tak pandai untuk menulis. Tapi bismillah, aku harus mencobanya! Semoga berkenan untuk membaca coletahanku ini ya~
Tak terasa Ramadhan pun sudah berakhir. Sepertinya baru kemarin menyambut bulan Ramadhan dengan penuh semangat dan gembira. Namun Ramadhan telah pergi. Akankah Ramadhan ini membekas di kita? Akankah semua amal ibadah yang kita lakukan selama 30 hari ini diterima di sisi-Nya? (Jawab dalam hati saja)
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika malam Ramadhan berakhir, seluruh makhluk-makhluk besar, di segenap langit, dan bumi, beserta malaikat ikut menangis. Mereka bersedih karena bencana yang menimpa umat Muhammad SAW. Para sahabat bertanya, bencana apakah ya Rasul? Jawab Nabi, Pemergian bulan Ramadhan. Sebab di dalam bulan Ramadhan segala do’a terkabulkan. Semua sedekah diterima. Dan amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya, penyiksaan sementara di hapus.”
MasyaAllah, merinding bukan saat kita membacanya?
Tiap Ramadhan memiliki ceritanya masing-masing. Ramadhanku kali ini harus lebih banyak amalan ibadahnya dibanding hura-huranya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Itu sudah pasti. Kamu juga kan? Jangan sampai kebalikannya ya. Na’udzubillah.
Oke, sebelum aku ceritakan Ramadhanku tahun ini, akan aku ceritakan terlebih dahulu Ramadhanku di tahun sebelumnya.
Kenangan. Biarkan ini menjadi kenangan yang bisa mendewasakan dan menjadikan kita pribadi yang unggul dan berakhlak. Kenangan itu bisa kita bagi menjadi dua sisi; sisi kelabu dan indah. Kenangan bisa kita ceritakan secara gamblang kepada orang lain yang kita percaya atau kita simpan rapat-rapat sendiri. Aku akan memilih untuk menceritakannya. Siapa tau, ada yang terinspirasi dan bisa mengambil pelajaran untuk menjadi insan yang penuh harap dan beriman kepada Allah dan Rasul. Semoga.
Bulan Ramadhan. Sudah menjadi rutinitas bagi kami sekeluarga untuk menyambut dengan cara kami sendiri. Mulai dari membuat banner ukuran 1×1 m yang terpampang secara nyata wajah-wajah kita sekeluarga dengan caption “Hai Ramadhan, Aku Siap!” di pasang di depan pintu rumah. Tahukan kalian, ini terinspirasi darimana? Yup, dari pesantren kilat yang pernah aku ikuti saat di bangku SD. Tradisi ini bertahan sampai aku di bangku SMA. Alasannya, sudah pasti malu. Padahal aku tau, ini bagian dari motivasi agar aku dan adikku bersemangat dalam beribadah.
Rutinitas yang lainnya adalah membuat targetan bulan Ramadhan yang ditempel di pintu kamar kita masing-masing. Gunanya untuk saling mengingatkan kalau diantara kita udah mulai lalai. Dan dulu, aku selalu pintar membuat alasan kalau kalau ada yg bolong dari targetan Ramadhannya.
Sebenarnya targetan Ramadhan ini tak pernah terfikirkan oleh kami sedikitpun. Sahur-puasa sampe bedug-taraweh-tilawah kalau sempat-sedekah. Tak ada yang spesial dari ibadahnya.
Eits, tapi itu dulu. Setelah kami sekeluarga mengenal tarbiyah, keadaan keluarga pun berubah secara perlahan. Dan setelah paham karena ini kebutuhan dan kewajiban kita sesama muslim maka akhirnya kita sekeluarga putuskan secara musyawarah targetan Ramadhan kita seperti apa seminggu sebelum Ramadhan. Ya, walaupun pasti orangtua dan adikku pasti sudah punya targetan dari halaqahnya masing-masing. Untuk di rumah, kita samakan targetannya.
Aku sempat menjadi pemberontak. Tak mau diatur dalam hal ibadah. Aku menolak untuk ada lembar targetan Ramadhan dan sempat terfikirkan, yaudahlah ya biarkan amal ini Allah dan aku saja yang tahu. Kalau diumbar-umbar nanti pahalanya bisa terbang. Astaghfirullah, moga Allah ampuni aku atas pemikiran yang lalu itu.
Dulu, saat aku di tingkat 1, mungkin karena masih terbawa atmosfer anak sekolahannya, bulan Ramadhan menjadi ajang silaturahmi alias buka bersama (Kalau bahasa kerennya bukber) organisasi saat di sekolah dulu. Di bulan Ramadhan penuh dengan jadwal bukber organisasi A, B, C sampai Z. Biaya membludak bak letusan bom atom Nagasaki-Hiroshima. Dan itu tidak sedikit -maaf- melalaikan shalat kita, shalat magrib bablas, shalat isya’ entar-entaran, taraweh lewat begitu saja seperti hembusan angin. Dan aku sebenernya tidak menyukai keramaian tapi tetap saja aku datang dengan dalih karena rasa kesetiakawanan dan niat silaturahmi. Semoga kamu tak seperti aku ya.
Ramadhanku 7 tahun belakangan ini selalu membuatku termotivasi untuk berlomba-lomba mengumpulkan banyak amalan. Selalu memaknai segala bentuk amalan yang dilakukan. Selain karena dukungan dari keluarga, teman dekat, teman satu lingkaran, kerabat, dan lingkungan sekitar. Tiap harinya aku berusaha untuk mengevaluasi targetan Ramadhan mana yang belum maksimal dan terencana. Mendadak aku menjadi orang yang ambisius dalam beramal di bulan istimewa ini.
Ketika ada pertemuan, maka ada pula perpisahan. Begitu pula dengan bulan Ramadhan. Namun ketika perpisahan menjadi terlalu berat seningga sampai menjadi musibah bagi kita, tentu pastinga kiga diliput kesedihan. Tapi adakah rasa itu di antara kita? Adakah kita merasa sedih dan berat meninggalkan Ramadhan?
Bagaimana tidak. Bulan Ramadhan dimana pintu syurga dibuka lebar-lebar, sedangkan pintu neraka ditutup rapat-rapat. Dimana didalamnya terdapat kebaikan yang lebih baik dari 1000 bulan. Dan keutamaan-keutamaan lainnya.
Pada suatu ketika Umar bin ‘Abdul Aziz berkhutbah pada hari raya Idul Fitri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima.”
Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fitri datang. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima atau tidak.”
Lantas bagaimana dengan kita? Yakinkan dalam diri ini terdapat kesedihan ketika Ramadhan pergi meninggalkan kita? Atau apakah terlalu bergembiranya kita menyambut Idul Fitri sehingga menghapuskan kesedihan dan melupakan segera bulan Ramadhan?
Memang menyambut Idul Fitri bolehlah dengan bahagia dan gembira. Namun hendaknya jangan berlebihan sehingga kita melupakan bahwa sesungguhnya bulan Ramadhan adalah latihan bagi kita juga untuk meningkatkan ibadah pada bulan-bulan lainnya.
Seorang penyair Arab mengingatkan kita: Bukanlah Hari Raya ‘Ied itu, bagi orang yang berbaju baru. Melainkan hakikat ‘Ied itu, bagi orang yang bertambah ta’atnya.
Semoga dengan latihan yang telah kita laksanakan di Bulan Ramadhan sampai pada ketakwaan. Semoga ketakwaan yang di dapat ini menjadi terus kita pertahankan dan tingkatkan. Semoga dengan Ramadhan berikutnya oleh Allah SWT dipertemukan. Aamiin
Sedikit mau iklan yaaa 🙂
Aku bisa seperti saat ini berkat hidayah dari Allah melalui lingkaran penuh cinta. Dimana kita melingkar untuk saling mengingatkan dan diingatkan. Dan bukankan itu tugas kita sesama muslim?
Jadi, #AyoMentoring 🙂
Tetaplah bersama dalam lingkaran persaudaraan. Melingkar adalah mengokohkan daya kekuatan. Melingkar adalah menyulam cinta. (Salim A. Fillah)
Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. (Salim A. Fillah)
Hal baik dalam diriku adalah cerminan pahala orang tuaku. Sisi lainnya adalah kesalahanku dalam memaknai hidup. (put/thayyibah)
Depok, 4 Syawwal 1437 H
#tobeagoodmuslimah