Oleh : Geisz Chalifah

Banyak hal bisa diceritakan tentang Hierapolis di Pamukkale. Ia adalah saksi bisu sejarah kekuasaan Romawi, lalu Byzantium dengan Konstantinopel sebagai pusatnya, hingga akhirnya jatuh ke tangan Sultan Mehmed dari Turki Utsmani.
Namun, yang selalu menarik bagi saya bukan hanya kisah perebutan kekuasaan, melainkan bangunan hiburan rakyat di masa Romawi. Di Hierapolis berdiri teater besar tempat berbagai pertunjukan digelar, termasuk perkelahian gladiator.
Arsitekturnya khas: setengah lingkaran berbentuk kerang. Desain seperti itu bukan kebetulan. Bagi bangsa Romawi, bentuk setengah lingkaran bukan hanya menjamin kekokohan struktur, tapi juga menyimpan rahasia akustik. Suara yang keluar dari panggung akan dipantulkan oleh lengkung dinding, menyebar rata ke bangku-bangku penonton.
Bayangkan seorang kaisar atau orator berdiri di tengah panggung. Tanpa mikrofon, tanpa pengeras suara, suaranya tetap dapat terdengar jelas hingga ke sudut-sudut teater. Semua berkat kecanggihan para arsitek yang tahu cara memadukan seni bangunan dengan hukum-hukum alam.
Maka, di abad ketika sound system belum ditemukan, manusia sebenarnya sudah menemukan sistem suara alami. Alam dipakai sebagai pengeras suara, dan arsitektur menjadi alat untuk menyampaikannya.
Kecanggihan itu mengingatkan kita: peradaban bukan hanya soal teknologi mesin, tetapi juga akal budi manusia yang mampu membaca rahasia alam lalu menjadikannya bagian dari seni hidup.
Thayyibah