Oleh: Joko Intarto
Anda harus merawat pasien mandiri di rumah karena rumah sakit penuh? Pelajaran ini saya peroleh di desa selama 13 hari menemani ibu saya, yang sedang sakit. Sebelum menjelaskan lebih jauh, saya review singkat data-data ibu saya:
Nama: Hj Riswati
Usia: 78 tahun
Berat badan: 82 Kg
Diabetes: Ya
Pernah Covid-19: Ya
Tepat sebulan lalu, Bu Ris diperkenankan meninggalkan RS Permata Bunda setelah dirawat di ruang isolasi 17 hari dan tes PCR menunjukkan hasil negatif. Sepulang dari rumah sakit, Bu Ris sering mengalami gejala sulit tidur dan gampang panik. Sebagian memorinya hilang.
Dokter menduga Bu Ris mengalami depresi karena pengalaman selama 17 hari di ruang isolasi. Kejadian ini bukan satu-satunya. Kasus serupa juga dialami banyak ‘alumni’ ruang isolasi di rumah sakit lainnya.
Selama 13 hari terakhir, kondisi kesehatan Bu Ris tidak stabil. Memang lebih banyak ‘sehat’, tetapi kadang drop secara mendadak. Perubahan yang drastis itulah yang membuat keluarga panik.
Ketika konsultasi dokter, tidak ada data medis yang bisa disajikan. Semua data bersifat kira-kira. Subjektif.
“Suhu badannya bagaimana?” tanya dokter.
“Normal, Dok. Tidak demam,” jawab saya.
“Normal itu berapa derajat Celsius?” tanya dokter.
Saya tidak bisa menjawab. Tidak ada thermometer untuk memastikan berapa suhunya.
Demikian pula pertanyaan lain yang semakin sulit dijawab. Misalnya, berapa kadar gula darahnya? Berapa tekanan darahnya? Berapa detak jantungnya? Berapa saturasinya?
Lalu datang seorang perawat yang bertetangga rumah. Kami memang memanggilnya untuk menjawab pertanyaan dokter.
Setelah dicek beberapa menit, diperoleh sejumlah data. Kadar gula darahnya ternyata 67. Satuannya lupa. Kata perawat tersebut, kadar gula darah Bu Ris terlalu rendah. Apalagi punya bawaan diabetes. Saturasinya masih oke: 92. Satuannya juga saya lupa. Berarti masih bagus. Bagaimana dengan tekanan darahnya? Ternyata 90/150. Satuannya juga lupa. Tapi saya ingat: 90 itu tekanan bawahnya, 150 tekanan atasnya.
Saya amati alat-alat yang digunakan perawat itu sangat praktis. Semua serba digital. Pengoperasiannya mudah. Hasilnya tersaji dalam beberapa detik.
Setelah perawat itu pulang, saya putuskan untuk membeli alat-alat pendeteksi tersebut. Saya cek harganya di marketplace untuk ancar-ancar dananya. Saya perkirakan di toko alat kesehatan di kota Purwodadi, harganya mungkin sedikit lebih mahal.
Di apotek langganan, ternyata semua alat yang saya perlukan tersedia. Satu paket terdiri atas thermometer digital, tensimeter digital, oxymeter digital dan tester kadar gula darah digital bisa dibawa pulang dengan harga Rp 1.2 juta. Sedikit meleset di atas perkiraan.
Sampai di rumah saya minta beberapa keponakan untuk belajar menggunakannya. Memang tidak ada kesulitan. Termasuk alat tes gula darah yang harus mengganti jarum setiap kali pemakaian. Tidak perlu menganalisis data-data tersebut. Dokter jarak jauh hanya meminta kami bisa menyajikan data saja. Tidak perlu menerjemahkannya.
Sekarang saya merasa lebih tenang. Dokter menelepon menanyakan suhu badan Bu Ris. Saya bisa menjawabnya dengan pasti. “Suhu 36,2 derajat Celsius.”
Malam dokter minta data lagi: tensi Bu Ris. Besok pagi, dua jam setelah makan, diminta kirim data kadar gula darah.
Belajar dari peristiwa ini, saya sarankan setiap keluarga punya alat-alat pendeteksi dasar itu. Apalagi pada masa pandemi. Saat banyak tenaga kesehatan hanya bisa membantu dari jarak jauh.