Oleh: Kang H Idea
Kenangan tentang petromak bagiku hampir identik dengan kenangan tentang ayah. Ayah yang kukenal sepanjang masa kecilku adalah seorang pria berumur sekitar 50 tahun. Tinggi badannya sekitar 165 senti meter. Badan dan tangannya kekar, tapi perutnya agak buncit. Persis seperti potongan tubuhku saat ini. Kulit putih, hidung mancung. Tapi hampir semua wajah kami anak laki-lakinya tak mirip dengan dia. Kami lebih mirip Emak.
Ayah adalah lelaki biasa. Ia tidak ambisius seperti Emak. Ia lebih suka menikmati apa saja yang bisa dia nikmati sekarang, bukan nanti-nanti. Agak kontras dengan Emak yang lebih suka menabung hari ini yang manfaatnya dirasakan kemudian. Kalau sudah lelah dia akan berhenti bekerja, sementara Emak berprinsip kalau ada pekerjaan besok yang bisa diselesaikan hari ini, selesaikanlah.
Pagi hari, subuh-subuh dia sudah bangun. Dengan diterangi lampu senter ia pergi ke perigi di belakang rumah untuk mandi. Lampu senter ini adalah satu-satunya barang milik dia yang tak boleh disentuh orang lain. Dia akan marah besar kalau tak menemukan lampyu itu di tempatnya saat dia membutuhkan. Lampu itu selalu di sampingnya saat dia tidur. Tengah malam terkadang dia keluar rumah untuk buang air ke kakus di belakang rumah. Di tengah gulita malam di kampung lampu senter memang sangat dibutuhkan.
Setelah mandi Ayah berganti baju, pakaian pagi hari. Sehelai kain sarung, di dalamnya ia pakai celana kolor gombrong dari kain belacu, setengah panjang hingga ke bawah lututnya. Ia memakai kaos singlet cap jambu, di luarnya baju teluk belanga warna putih. Kepalanya ditutup dengan peci hitam.
Kemudian ia mengumandangkan azan. Suaranya sangat merdu. Ayah adalah imam di mesjid kampung kami. Tak sedikit orang memanggilnya dengan gelar Pak Imam. Ia menjadi imam saat shalat jumat dan lebaran. Ia juga memberi khutbah, bergantian dengan beberapa tokoh lain di kampung.
Azan membuat kami terbangun. Tapi tak semua orang lantas segera bangun untuk salat. Ayah kemudian mendatangi ranjang-ranjang berbalut kelambu tempat kami tidur untuk membangunkan kami. Tak jarang Ayah salat sendiri tanpa membangunkan kami. Oh ya, azan dan salat itu dilakukan di rumah. Ayah tak salat di mesjid. Mesjid jauh dari rumah kami.
Usai salat, kadang ia mengaji. Kalau di luar sudah agak terang ia akan siap-siap sarapan. Ayah tak minum kopi maupun teh. Ia pemakan nasi sejati. Sarapannya selalu nasi putih dengan lauk sederhana. Minumnya air putih panas. Setelah sarapan dia bersiap-siap untuk bekerja.
Kerja rutinnya adalah merawat kebun kelapa. Kami punya 3 bidang kebun. Satu bidang di atas tanah di mana rumah kami berdiri. Lebarnya 25 depa, panjang 250 depa. Ada lagi 2 bidang kebun yang agak jauh dari rumah. Kebun itu dipenuhi pohon kelapa yang ditanam dalam jarak 5 depa antar pohon. Kebun dipetak-petak dengan selokan selebar satu hasta lebih, satu petak berukuran 25 x 25 depa. Kebun kelapa ini sudah cukup lama dia buat. Ketika aku kecil seingatku pohon-pohon kelapa itu sudah sangat tinggi. Mungkin sudah mencapai sepuluh meter. Di bawahnya kami menanam kopi.
Pekerjaan rutin dalam merawat kebun kelapa adalah menebas rumput-rumput yang tumbuh di bawahnya. Sesekali selokan yang sudah dangkal diperdalam. Mulai kelas 4 SD aku turut serta dalam pekerjaan-pekerjaan itu. Semua abangku juga begitu. Pulang sekolah, setelah makan dan istirahat siang aku harus ke kebun bersama Ayah. Emak juga ikut kalau dia tidak sedang pergi berjualan. Emak berjualan pakaian, berkeliling dari rumah ke rumah, di kampung kami dan kampung tetangga.
Menebas rumput sangat melelahkan. Aku harus menebas dengan parang panjang, lebih dari setengah depaku. Parang diayun, memotong pangkal rumput yang tingginya kadang melebihi tinggi badanku. Di tengah semak rumput kadang tumbuh pula pohon-pohon yang batangnya agak keras, seperti pohon mengkudu. Pohon ini juga harus ditebang. Pelepah kelapa tua yang gugur harus dioptong-potong lalu ditumpuk agak jauh dari pohon kelapa.
Beberapa ayunan parang untuk menebas cukup untuk membuat napas terengah-engah. Aku mengaso sejenak, mengambil napas, lalu mulai menebas lagi. Beberapa kali hal ini berulang cukup membuat badan lelah. Lalu aku duduk istirahat. Kadang berbaring di atas rumput yang sudah aku tebas. Keringat bercucuran membasahi tubuh.
Untuk menghilangkan haus aku minum air bekal yang dibawa dari rumah, atau minum air kelapa muda. Setelah mengaso beberapas saat, mulai lagi menebas. Begitu seterusnya, berulang-ulang.
Aku lebih suka kalau disuruh menggali selokan. Tempo kerjanya lebih lambat, jadi tidak menguras tenaga. Sekalian bisa main lumpur. Asyik.
Pulang biasanya sore. Ayah pulang sebelum gelap agar dia bisa salat ashar di rumah. Dari kebun dia langsung ke perigi untuk mandi. Aku sendiri biasanya tak langsung pulang. Aku menuju ke halaman sekolah tak jauh dari rumah untuk main sepak bola. Saat aku tiba biasanya permainan sudah hampir berakhir. Anak-anak lain sudah mulai saat aku masih kerja di kebun. Tapi tak apa. Sedikit waktu yang tersisa masih bisa dimanfaatkan. Kadang karena terlalu asyik aku main sampai hari sudah gelap. Ini biasanya jadi petaka di rumah, karena pasti akan dipukul sama Emak.
Menjelang maghrib adalah saat ayah menyalakan petromak. Kami menggunakan satu petromak untuk menerangi rumah. Rumah kami sebenarnya terlalu besar sehingga tak cukup diterangi oleh satu petromak. Untuk tambahan kami memakai pelita sumbu, berbahan bakar minyak tanah.
Menonton Ayah menyalakan petromak sangat menyenangkan. Aku jarang sekali melewatkan kesempatan itu. Iya menurunkannya dari gantungan, lalu membawanya ke beranda rumah. Hari sudah mulai agak gelap, teras rumah adalah satu-satunya tempat yang masih agak terang. Setelah petromak ditelakkan di lantai Ayah mengangkat kepala petromak. Ini harus perlahan, agar kaos lampu yang sangat tunak itu tidak menyenggol apapun. Kalau itu terjadi kaos lampu akan pecah.
Ayah memeriksa minyak tanah yang tersedia di tangki petromak, menambahnya kalau sudah sedikit. Lalu ia memasukkan spiritus ke dalam mangkok kecil di dalam petromak, menyulut spiritus itu untuk memanaskan petromak. Kepala lampu dipasang kembali. Beberapa saat kemudian ia mulai memompa. Tak lama setelah itu api yang membakar sipitus tadi mulai menjilari butiran kecil minyak tanah yang disemprotkan dari tangki bertekanan tinggi ke dalam kaos lampu. Dan petromak sudah menyala.
Petromak mengeluarkan suara khas. Sebuah desis berkepanjangan, menandakan bahwa ia sedang bekerja. Bekerja menerangi kami. Saat kami salat magrib, lalu makan malam. Sesudah itu aku akan mulai mengaji, di bawah sinar petromak.
Di rumah kami mengaji lebih penting bagi anak-anak. Ayah dan Emak tak pernah mau tahu kapan anak-anaknya belajar pelajaran sekolah atau membuat PR. Mungkin karena mereka tak paham apa yang dipelajari anak-anaknya di sekolah. Ayahku cuma sekolah sampai kelas dua Sekolah Rakyat. Emak tak pernah sekolah sama sekali. Tapi mungkin juga mereka tak ribut soal ini karena anak-anaknya memang tak perlu benar belajar di rumah. Tanpa itupun kami kakak beradik selalu jadi juara di sekolah.
Hal wajib di rumah kami di malam hari adalah belajar mengaji, selepas magrib dan makan malam. Ayah dan Emak akan marah besar kalau ada yang mangkir dari acara ini tanpa alasan yang jelas. Ayah punya sebatang rotan, sepanjang satu hasta. Satu ujungnya dilancipkan, sedangkan ujung yang lain dibelah empat. Ujung lancip berfungsi sebagai penunjuk saat ia mengajari kami mengaji. Ujung yang berbelah empat digunakan untuk memukul kami kalau mangkir dari acara mengaji. Sekali sembat kau kena empat kali, kata Ayah mengagumi senjatanya itu.
Petromak dimatikan saat kami menjelang tidur. Tugasnya akan digantikan oleh pelita kecil. Sebuah tobol kecil diputar untuk membocorkan tangki, udara bertekanan di dalam tangki akan keluar. Itu artinya pasokan butiran minyak tanah ke kaos lampu berhenti. Lalu petromak padam.
Gulita datang menyelimuti kami. Pelita kecil itu takkan pernah sanggup melawannya.