Breaking News
Kiyai Ghani Masykur, tak lekang berdakwah (Foto : Kabaha)

KYAI GHANI MASYKUR, TAK LEKANG BERDAKWAH

Kiyai Ghani Masykur, tak lekang berdakwah (Foto : Kabaha)

 

Dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, pesawat carteran itu terbang menuju bandara Selaparang, Lombok.  Di dalam pesawat hanya ada lima orang. Seorang pilot, seorang co pilot, dua orang perwira dari kodam Udayana dan seorang laki laki tua yang duduk diapit dua perwira itu.

30 menit mengudara, pesawat itu mendarat di Selaparang. Orang tua tadi dikawal ketat turun dari pesawat dan segera dibawa dengan kendaraan yang menjemput langsung di landasan.

Siapa orang tua itu gerangan? Mengapa ia sampai perlu di kawal begitu rupa? “Itulah sepenggal episode yang membawa saya masuk penjara di era Orde Baru,” kenang Ghani Masykur, orang tua itu.

Lima tahun lamanya Muma Ghani,  demikian ia biasa disapa, mendekap di penjara. Ghani ingat betul detil kejadian itu. Ia ditangkap di kota Malang sesaat setelah ia menghadiri sidang Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammdiyah. Dari Malang ia digiring ke Banyuwangi lalu diseberangkan ke Bali. Di Kodim Bali ia di tahan dua hari dua malam sebelum diterbangkan ke Mataram.  Di Mataram, Ghani di tahan lima hari. Selama itu ia dicerca banyak pertanyaan dan diintimidasi dengan ancaman dan bujukan.

Apa salahnya orang tua seperti Ghani? Mengapa rezim begitu takut pada orang tua ini? “Saya disebut ekstrem kanan karena dakwah yang saya sampaikan dianggap ingin mendirikan negara Islam”, terang Ghani. Di era Orde Baru,  sebutan ekstrem kanan adalah hantu yang bisa menyeret orang masuk bui tanpa pengadilan.

Gara-gara dakwah Ghani masuk bui. Kisahnya bermula pada pertengahan 1986, pada sebuah pengajian di Kota Bima. Kyai Ghani yang waktu itu Ketua Pimpinan  Daerah Muhammadiyah Bima. Ditanya seorang jemaah soal hukumnya membeli Porkas? Pada tahun itu pemerintah memang baru meluncurkan Porkas,   sejenis undian olahraga berhadiah. Kyai Ghani dengan tegas menjawab:  “Segala undian itu judi. Segala judi itu haram.”

Pada kesempatan  lain di pengajian  yang lain, ada lagi jemaah yang bertanya, jika Porkas itu judi mengapa pemerintah memberi izin? Kyai Ghani kembali menjawab lugas: “Pemerintah Indonesia bukan pemerintah yang berdasarkan Syariat Islam. Melainkan pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dimana yang dilayani bukan hanya ummat Islam. Jika pemerintah memberi ijin Porkas, ijin itu bukan untuk ummat Islam tapi untuk warga negara yang bulan Islam.  Buat ummat Islam, Porkas itu haram.”

“Apa ada yang salah dari ucapan saya itu?”  Tentu saja tak ada yang salah. Kalaupun pun ada yang salah itu adalah ketakutan berlebihan dari penguasa yang entah bagaimana bisa percaya bahwa kata-kata dari seorang kyai tua seperti Ghani bisa menggulingkan kekuasaan mereka yang bgitu besar. “Saya diminta mencabut kata-kata saya yang mengharamkan Porkas. Saya menolak dan saya di penjara”.

TAK LEKANG

“Dalam hidup, begitu Muma Ghani sering berkata, kewajiban manusia hanya dua. Menyampaikan  kebenaran dan mencegah kemungkaran. Tugas itu tidak kebal istilah pensiun. Ghani mencoba konsisten menjalankan kewajiban itu. Ia punya punya prinsip kebenaran harus disampaikan dengan cara yang santun tapi tegas, sekalipun  ada resiko berat yang harus ditanggung.

Ghani tidak pernah hendak melawan penguasa. Ia bahkan dekat dengan banyak orang yang berkuasa. Mungkin karena sikap tegas dan lembutnya itu, ia jadi disegani penguasa. Seorang jenderal yang berkali-kali jadi menteri di era Orde Baru dan pernah pula menjadi Kepala Badan Intelejen Negara, sering menelponnya dan menanyakan kabarnya. Padahal di masa ia berkuasa, sang jendral itu kerap mengirim para mubalig ke bilik penjara.

Ketika dalam penjara, Ghani mendengar kabar Kepala Korem Bima yang memenjarakannya tertimpa kecelakaan berat, Ghani minta ijin pada kepala LP agar bisa menjenguk kolonel tadi. “Saya sama sekali tidak dendam. Dendam itu mematikan hati. Saya tahu sesungguhnya hati kecil mereka tidak setuju jika orang kecil seperti saya di penjara hanya karena menyampaikan keyakinan agama”.

Berdakwah sudah menjadi panggilan hidup Ghani. Ia yang lahir di Prado, Bima sejak kecil tekun belajar agama. Di usia senjanya, Muma Ghani tetap berdakwah. Muma Ghani wafat pada tahun 2019 dalam usia hampir 100 tahun. Seperti kita juga, Ghani hanya hidup satu kali di dunia ini.Tapi jejak yang ia tinggalkan begitu dalam. Ia teladan satunya kata dan perbuatan.

(Disadur dari buku ORANG BIASA YANG TIDAK BIASA, karya Farid Tolomundu, 2007. Artikel dari WAG tanpa menyebut nama dan sumber tulisan).

 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur