Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Persidangan perdata dengan tergugat Jam’an Nurchotib Mansur alias Yusuf Mansur, Selasa (20/10 ) di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, sampai pada kesimpulan akhir yang disampaikan oleh pihak Darmansyah sebagai turut tergugat. Jika dalam persidangan sepekan sebelumnya, pihak penggugat dan pihak tergugat Yusuf Mansur telah menyampaikan kesimpulannya, kali ini pihak Darmansyah yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Lederman, menyampaikan kesimpulannya.
Sejak paruh Maret 2020 lalu, persidangan gugatan perdata atas Yusuf Mansur, digelar. Fajar Haidar Rafly, warga Surabaya, bersama empat investor lainnya menggugat Yusuf Mansur karena merasa ada yang tidak beres atas investasi yang pernah ditawarkan oleh tergugat dalam kurun waktu 2014. Investasi yang dimaksud berupa Condotel Moya Vidi di Jogyakarta dan hotel Siti yang berada di Tangerang, Banten.
Melalui kuasa hukumnya, M Ariel Muchtar, selama persidangan, Yusuf Mansur mengelak bahwa Condotel Moya Vidi ada kaitannya dengan dirinya. Selama persidangan terungkap bahwa dalam kurun waktu 2014, Yusuf Mansur 2 kali datang ke Surabaya, dan dihadapan jamaah ia memasarkan Condotel Moya Vidi. Yakni, di Blauran Mall dan UIN Sunan Ampel. Pada Maret 2014 Yusuf Mansur datang ke Hong Kong dan memasarkan, antara lain, Condotel Moya Vidi.
Ternyata, pembangunan Condotel Moya Vidi gagal dilaksanakan. Pada Januari 2015, tanpa adanya pemberitahuan dan persetujuan para investor, Yusuf Mansur mengeluarkan pengumuman melalui Laman Website Koperasi Indonesia Berjamaah bahwa dana investasi mereka yang ditanamkan pada proyek Condotel Moya Vidi telah dialihkan ke hotel Siti di Tangerang, Banten. Hotel Siti di Tangerang memang ada. Hotel yang beroperasi sejak 2015 itu awalnya adalah hotel syariah. Didedikasikan sebagai hotel transit untuk jamaah haji dan umroh, baik ketika hendak berangkat ke Haram maupun sekembalinya dari dua kota suci, Madinah dan Makkah. Tetapi, sejak manajemen Horison hengkang dari hotel Siti pada paruh 2017, hotel Siti tak lagi bersyariah dan ini telah keluar dari komitmen awal sebagai hotel dengan konsep syariah. Selain itu, tingkat huniannya juga rendah, dibawah 30%. Ketika pada paruh September 2020 lalu kami bertandang ke hotel Siti, resto dan café tak lagi buka. Ya, ketika Covid-19 melanda, hotel Siti semakin sepi dan merana.
Karena selama 2 tahun lebih tidak ada laporan perkembangan tentang pembangunan Condotel Moya Vidi, maka Darmansyah, warga Surabaya, memperkarakan Yusuf Mansur. Pada 26 Agustus 2016, Darmasyah melaporkan Yusuf Mansur ke Bareskrim Polri. Yusuf Mansur dilaporkan dengan dugaan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Di tengah jalan, terjadi perdamaian, karena Yusuf Mansur bersedia mengembalikan uang berikut kerahiman kepada Darmansyah. Pihak Darmansyah mau berdamai dengan catatan bahwa semua investor yang mau ambil dananya bisa dilayani. Yusuf Mansur setuju. Berdamainya dengan Darmansyah telah mengkonfirmasi bahwa Yusuf Mansur telah mengakui kesalahannya dank arena itu ia mau memberi ganti rugi.
Lalu, pada 21 Februari 2017 di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, perjanjian diteken. Investasi Darmansyah sebesar Rp 48.600.000 (pada tahun 2014) dikembalikan berikut uang kerahimannya, dengan total sebesar Rp 78.600.000. Darmansyah merasa lega karena investasinya kembali, bahkan ada lebihnya. Tetapi ia kecewa karena ternyata Yusuf Mansur tidak memenuhi janjinya. Yakni, teman-teman Darmansyah, yang sebagian anggota Veritra Sentosa Internasional (cikal bakal PayTren), ketika hendak mengambil investasi mereka. Para investor Condotel Moya Vidi yang menuntut haknya, dipersulit, dan uangnya tidak kembali, sampai mereka menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
Karena pihak-pihak yang bersengketa sudah memberikan kesimpulannya, maka tinggal putusan hakim. Ketua Majelis Hakim, R Adji Suryo, akan membuka kembali persidangan pada hari Selasa (10/11) dengan agenda putusan hakim. Semoga keadilan diterima oleh mereka yang berhak! Wallahu A’lam.