Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen FH Univ. Djuanda Bogor)
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib berjalan melewati sebuah perkampungan, ia mendapati baju perangnya yang hilang tengah dipegang oleh seorang Yahudi. Dengan santun, Ali mengatakan kepada Yahudi itu, “Ini adalah baju perang milikku yang telah hilang”. Yahudi itu menjawab, “Tidak, ini adalah milikku, kau mengatakan seperti itu karena kau seorang penguasa”. Ali berkata, “Tidak, dugaanmu keliru. Lebih baik kita mencari keadilan di pengadilan dan memutuskan siapa di antara kita yang benar”.
Ali dan Yahudi itu kemudian menuju pengadilan. Syuraih bertindak selaku hakim (qadhi). Syuraih adalah salah seorang murid Ali bin Abi Thalib. Setelah melihat hakim, Yahudi itu merasa bimbang dan ragu, pasti hakim akan memihak pada Ali bin Abi Thalib dan mengalahkannya. Lalu Syuraih memulai persidangan, ia berkata kepada Ali: “Wahai amiril mukminin perkara apakah yang akan engkau adukan?” Ali pun menjawab, “Pertama, jangan panggil aku “amirul mukminin” di ruangan ini sebab aku adalah pihak yang tengah bersengketa. Kedua, orang ini telah menguasai baju perangku secara tidak hak”.
Yahudi pun berdalih, “Hendaklah bagi yang menggugat mendatangkan bukti”. Syuraih pun mengatakan kepada Ali, “Apakah saudara memiliki bukti yang menyatakan bahwa baju perang itu memang benar milik saudara dan Yahudi ini menguasainya secara tidak hak?” Ali menjawab: “Wahai hakim yang mulia, baju perang itu benar milikku. Itu merupakan pemberian Rasulullah SAW”.
Syuraih bertanya kembali: “Apakah saudara memiliki saksi yang menguatkan” “Ya, aku mempunyai dua saksi. Saksi pertama, adalah pekerjaku, dan saksi kedua adalah anakku Hasan”, jawab Ali dengan mantap. Tapi hakim berkata dengan tegas: “Kesaksian mereka berdua tidak dapat diterima!”
“Adakah cucu Rasulullah SAW seorang penipu hingga kesaksiaanya tidak dapat diterima?”, jawab Ali terkejut. “Sama sekali tidak. Namun Hasan adalah anakmu, dan seorang anak tidak boleh menjadi saksi bagi ayahnya dalam situasi seperti ini. Juga pekerjamu itu, tidak sah kesaksiannya, karena ia bekerja denganmu dan sudah termasuk bagianmu”. Kata Syuraih menjelaskan. Lalu Ali berkata, “Sekarang aku sudah tidak memiliki saksi lagi yang dapat membuktikan bahwa baju perang ini adalah milikku”.
Syuraih pun mengatakan di hadapan keduanya: “Demi menjunjung tinggi hukum dan keadilan, baju perang ini adalah milik Si Yahudi.”
Kisah sengketa Ali versus Yahudi itu menarik untuk dilihat dari dua sisi:
Pertama: Dalam ilmu hukum, setiap penggugat berkewajiban untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Dalam kaedah hukum disebut sebagai “the burden of proof”. Setiap pembuktian harus mampu mencapai, “beyond reasonable doubt”. Lalu, para ahli hukum memilah, dalam hal keperdataan, pembuktian itu harus mencapai pada kebenaran formil, sedangkan dalam hal pidana, kebenaran yang dicari adalah materiil.
Dalam istilah Latin, beban pembuktian itu dikenal sebagai, Semper Necessitas Probandi Incumbit Ei Qui Agit. Artinya kurang lebih sama, pembuktian harus mampu hingga beyond reasonable doubt. Sedemikian pentingnya hukum pembuktian itu, sampai-sampai Umar bin Khattab berijtihad, bahwa seorang hakim yang jika dia tahu atas suatu perkara, hakim itu tak boleh memutus berdasarkan pengetahuannya. Suatu hari, Umar bin Khattab (RA) menjadi hakim atas dua orang yang berperkara. Umar bin Khattab (RA) berkata kepada penggugat, “Siapa saksi yang engkau ajukan?”. Sang penggugat menjawab, “Engkau ya Amirul Mukminin, bukankah engkau mengetahui perkara ini dengan terang-benderang”. Umar bin Khattab (RA) menjawab, “Jika kalian berdua setuju, aku bersaksi, maka aku tidak akan menjadi hakim. Atau, aku menjadi hakim tetapi aku tidak bersaksi.”
Kedua: Sesungguhnya, dasar tentang hukum pembuktian ini telah diajarkan langsung oleh Rasulallah SAW. Dalam salah satu haditsnya, beliau (SAW) berkata,
لو يعطي الناس بدعواهم، لادعى رجال أموال قوم ودماءهم، لكن البينة على المدعي واليمين على من انكر.
“Andai setiap orang diberikan apa yang didakwakannya, niscaya orang akan menggugat harta suatu kaum, bahkan meminta (penggantian) darahnya. Tetapi, (kewajiban) pembuktian terletak pada penggugat, dan sumpah bagi orang yang menentang (atas suatu gugatan)”.
Pada kasus Ali bin Abi Thalib versus Yahudi itu, Ali bin Abi Thalib gagal melakukan pembuktian di muka peradilan sehingga sang hakim memberikan putusan yang memenangkan Yahudi. Padahal, hakim di perkara aquo itu, diangkat oleh Ali bin Abi Thalib. Dan Ali adalah pemilik sesungguhnya dari baju perang itu.
Ketika putusan itu memenangkan Yahudi, lihatlah hikmah berikutnya. Selesai persidangan, sang Yahudi masih tertegun. Dia tak percaya bahwa pada akhirnya dia memenangi sengketa baju perang itu. Yahudi itu berkata, “Jadi baju perang itu milikku?” seakan tidak percaya terhadap keputusan hakim. “Iya benar. Baju perang ini adalah milikmu”, jawab Syuraih dengan tegas. Yahudi bingung dan tidak percaya akan hal yang sedang dialaminya. Ia bergumam: “Bagaimana mungkin keputusan hakim ini berpihak kepadaku? Padahal aku berada di pihak yang salah dan Ali bin Abi Thalib ada di pihak yang benar dan ia benar benar pemilik baju besi ini, selain itu ia juga adalah seorang amiril mukminin.”
“Berarti aku bisa membawanya kembali dan ini adalah milikku?” kata Yahudi untuk memastikan putusan hakim.
“Iya benar, ambillah baju besi ini dan kembalilah, karena engkau adalah pemiliknya yang sah di mata hukum.” Jawab Syuraih meyakinkannya.
Lalu Yahudi tersebut memandangi Imam Ali dan berkata: “Wahai amirul mukminin ini adalah keputusan hakim dan ini adalah milikku.” “Iya benar, ini keputusan yang seadil adilnya dan baju besi itu adalah milikmu”, balas Ali. Namun, ternyata Yahudi itu tidak kunjung beranjak dari ruang sidang. Sembari memandangi wajah hakim, ia berkata: “Ketahuilah wahai hakim, baju perang ini sesungguhnya adalah milik amirul mukminin Ali bin Abi Thalib dan aku telah mencurinya.”
Lalu ia berpaling kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Wahai amirul mukminin ulurkan tanganmu”. Ali pun mengulurkan tangannya. Sambil menjabat tangan Ali, Yahudi itu mengucapkan:
اَشْهَدُ اَنْ لاَ إلَهَ إِلاَ الله وَاَشْهَدُ اَنَ مُحَمَدًا رَسُوْلَ الله
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Wallahua’lam bis shawwab