Oleh Dr. Masri Sitanggang
Aku dilanda kekhawatiran mendalam berkenaan dengan corona. Bukan khawatir terjangkit, bukan. Soal itu, aku yakin Allah telah lebih dahulu menulis daftar sesiapa yang terjangkit, bahkan jauh sebelum corona mewabah. “Katakanlah : ‘tidak ada satu musibah pun akan menimpa kami, kecuali Allah telah menuliskan sebelumnya dan Dia adalah pelindung kami…’ ”, begitu perintah Allah kepada orang-orang beriman dalam QS 9:51. Apakah corona punya sifat membangkang, atau kafir kepada Allah, dengan menyerang seseorang yang tidak ada dalam daftar? Sepengetahuanku, makhluk Allah yang punya sifat kafir itu cuma manusia dan jin. Selain itu, tidak. Mereka tunduk dan patuh (Islam) kepada Allah Thau’an wa karhan, terpaksa maupun sukarela.
Jadi, soal terjangkit aku tidak begitu risau. Kalau memang namaku masuk daftar, mau apa lagi, siapa pula yang bisa menghalanginya ?
Terserah apa kata orang-orang yang merasa perlu mengedepankan akal merdekanya dari pada firmaan Allah, apakah aku disebut fatalis atau apa? Tapi itulah sikap dan cara berfikirku sebagai bagian dari imaanku kepada Pecncipta dan Pengauasa Alam Semesta ini. Toh, jauh-jauh hari sebelum corona merebak, aku telah memenuhi sebagian dari perintah Allah.
Sejak kecil aku diajari Istinjak, cebok, dengan air yang mensucikan setelah pipis atau berak. Kecuali tidak ada air, maka harus dengan batu atau benda kesat lainnya sampai betul-betul bersih. Bersih, kata guru ngajiku dulu, berarti tidak ada bau lagi dan sudah terasa kesat di sekitar saluran pembuangan.
Sejak lima tahun belakangan ini, aku berusaha menjaga wudu’ mencuci tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan mencucinya, membasuh muka, membasuh kedua lengan sampai siku, menyapu kepala, mencuci telingan dan kedua telapak kaki hingga mata kaki. Setiap kali ke toilet atau kamar mandi, aku memperbaharui wudu’. Kecuali fasilitasnya tidak ada atau tidak memungkinkan seperti di toilet pesawat, airport dan lobi hotel. Aku pun sudah merasakan banyak manfaat luar biasa dari rajin berwudu’. Misalnya, penyakit sinusitis yang kuderita bertahun-tahun itu hilang; sakit kepala yang dulu rutin kualami kini tak pernah kambuh. Kini kepala pusing hanya ketika jatuh tempo harus bayar rekening listrik.
Kalau mau ke Masjid, aku selalu berwudu’ di rumah. Kalau Shalat Jum’at, kupastikan aku sudah mandi sebelum ke Masjid dan memotong kuku. Jangan ditanya setelah melakukan hubungan dengan isteri, tentulah aku mandi.
Jadi aku –dan orang-orang beriman lainnya, sesungguhnya sudah mencegah corona sejak sebelum makhluk berukuran nanbo itu datang dari Wuhan. Lucu juga rasanya kalau sekarang ini kita diajari cuci tangan dan pakai masker. Apa lagi yang mengajarinya tidak pernah berwudu’.
Aku berprasangka baik kepada Sang Pencipta dan Pemilik Alam ini bahwa musibah corona terjadi atas izin dan (mungkin sekali) adalah rencana-Nya yang Insya Allah baik untukku dan untuk orang-orang beriman. Ini adalah ujian keimanan : apakah aku termasuk orang yang benar-benar beriman atau masuk golongan mukazibien, penipu, beriman ecek-ecek.
Kekhwatiranku yang mendalam adalah menyangkut nasib gerakan dakwah. Khawatir akan runtuhnya kultur Islam yang selama ini sudah mulai terbangun. Berapa lama lagi kita akan terus ditakut-takuti hantu corona? Berapa lama lagi kita tidak boleh bersalaman dan berpelukan sesame saudara? Berapa lama lagi masjid yang tutup itu akan dibuka kembali? Berapa lama lagi waktu yang diperlukan agar bisa Tabligh Akbar? Berapa lama lagi kita bisa melaksanakan fardu kifayah terhadap saudara kita yang meninggal : takziyah, memandikan, mengafani, menshalatkan dan menghantarnya keperisterahan terakhir? Kalau kelak keadaan dinyatakan telah aman, pertanyaan yang paling menakutkan adalah: apakah kultur Islam yang sempat terganggu itu dapat pulih seperti sediakala, seperti suasana sebelum hantu corona melanda? Atau kita harus memulai gerakan dakwah ini dari alif, ba, ta lagi?
Dulu, ketika masuk Universitas Sumatera Utara tahun 1979, banyak yang memandang aku sebagai orang aneh. Ada yang menganggap lucu, kampungan dan ada juga yang menilai aku sebagai kelompok ekstrim kanan –pada masa itu istilah ini memang popular. Pasalnya, setiap kali aku bertemu seseorang yang aku tahu dia Muslim –apakah dosen, seniaor atau seangkatan– aku menyapa dengan “Assalamu alaikum”. Bila ada kesempatan ngobrol, setelah berucap salam, aku biasanya menyodorkan tangan untuk berjabatan.
Pada waktu itu, ucapan salam hanya ada pada kegitatan-kegiatan resmi seperti Peringatan Harti Besar Islam, atau pembuka kata dari para pembicara dalam satu acara. Selain itu ucapan salam ada di pengajian masiswa yang dilakukan oleh HMI Komisariat pada sebulan sekali di malam hari. Belum biasa didengar dalam sapa-menyapa, apalagi di Perguruan Tinggi Umum.
Universitas Sumatera Utara, dengan sekitar 7 fakultas, waktu itu hanya memiliki sebuah masjid berukuran sekitar 8 kali 8 meter. Itu pun terletak di luar, di kompleks perumahan dosen. Beberapa fakultas memiliki mushalla. Ukurannya kecil-kecil. Fakultas Pertanian, tempat aku belajar, misalnya, punya mushalla berukuran sekitar 3 kali 4 meter dan letaknya di belakang dan hanya akan berisi kalau ada yang melaksanakan praktek lapangan di sekitar mushalla itu. Lebih berfungsi sebagai tempat isterahat melepas lelah dan menunggu waktu praktikum
Suasana mulai berubah ketika “kuliah subuh” Buya Hamka di Masjid Al-Azhar tersiar melalui stasiun-stasiun radio di Medan. Sepoi-sepoi terdengar pula geliat Masjid Salman, ITB Bandung. Lalu, ada Kongres Nasional ke-15 HMI di Medan tahun 1983. Sejumlah kader HMI dari Pulau Jawa yang telah mengikuti Latihan Mujahid Dakwah (LMD)-nya Bang Imad (panggilan Akrab Dr. Imaduddin Abdurrahim) di Masjid Salman menularkan virus gerakan dakwah di kampus.
USU dengan Masjid Dakwahnya tumbuh menjadi sentral gerakan kampus di Sumatera Utara. Masjid-masjid kampus tumbuh. Mushalla fakultas yang kecil-kecil itu perlahan menjadi Masjid Fakultas sementara Masjid Dakwah direnovasi berukuran kira-kira 15 meter persegi berlantai dua dengan parkir yang luas.
Tiga isu besar gerakan waktu itu adalah : (1) Gerakan back to mosque, kembali kemesjid, menghidupkan dan menyemarakkan masjid di sekitar rumah dengan membentuk Remaja Masjid. (2) Gerakan menebar salam “Assalamu ‘alaikum” dalam rangka membangun Ukhuwah Islamiyah. (3) Gerakan Jilbabisasi, kampanye mengenakan jilbab atau busana muslimah. Yang terkhir ini dilakukan sebagai perlawanan terhadap rezim yang melarang siswa dan mahasiswa mengenakan jilbab. Di tahun-tahun itu sejumlah siswa dikeluarkan dari sekolah karena berjilbab.
(Untuk urusan yang ke (3) ini aku dan teman-teman aktivis Masjid Dakwah USU harus berterima kasih kepada Prof. AP Parlindungan SH, Rektor USU saat itu, karena di saat-saat yang lain alergi jilbab, beliau malah menyumbangkan jilbab dan mewisuda setiap angkatan Santri Kilat USU dengan memasangkan jilbab kepada mahasiswi. Semoga Allah membalas amal beliau dengan berlipat ganda).
Alhamdulillah, tiga gerakan itu telah menjadi kultur masyarakat Indonesia beberapa dasawarsa ini. Bahkan bergulir bagai bola salju hingga datangnya corona.
Sekali lagi, apakah selepas hantu corona nanti kultur Islami itu akan otomatis pulih dan kembali sebagai mana semula? Bertemu dan berjabat tangan hangat dan berpelukan akrab, misalnya. Ramai-ramai memakmurkan masjid dan duduk iktikaf menunggu shalat Isya. Berbondong-bondong ta’ziyah dan menyelenggarakan fardhu kifayah terhadap sahabat yang meninggal.
Atau kita harus memulainya dari alif, ba, ta, tsa lagi? Kita dianggap aneh saudara sendiri ketika menyodorkan tangan untuk bersalaman? Kita harus berhadapan lagi dengan apararat yang phobi terhadap kultur itu ? Ya, dulu kita sering berhadapan dengan aparat karena berbagai tuduhan yang intinya kita disebut sebagai ektrim kanan.
Kekhawatiranku rasannya cukup beralasan. Bak pepatah “Alah bisa karena biasa”. Semakin lama suasa dihantui corona, masyarakat akan terbiasa dengan kultur baru sekarang ini. Sulit mengembalkikan lagi ke keadaan semula.
Lebih dari itu, di negeri ini, nyata pula ada pihak-pihak yang membenci apa saja yang berbau Islam tetapi tidak membenci faham komunis. Sebelum wabah corona, misalnya, mereka melakukan persekusi terhadap acara-acara Islam. Penghinaan terhadap suara adzan atau simbol-simbol Islam adalah bagian dari itu. Sekarang, mereka jelas mengambil manfaat karena merasa memiliki alasan untuk tindakan mereka. Mereka ingin membangun opini seolah masjid bukanlah tempat yang istimewa, melainkan sama saja dengan pasar dan tempat kerumunan lainnya yang menjadi sumber penularan corona dan oleh karenanya perlu dijauhi.
Di Sulawesi Tengah, misalnya, ada seorang ASN berpakaian dinas yang penuh semangat (videonya viral), meminta kepada Bupati, Kapolres dan Danrem supaya membubarkan setiap kegiatan yang dilakukan di masjid. Masjid di seluruh Sulawesi Tengah harus digembok tanpa kecuali. Sang ASN secara serampangan memelintir Fatwa MUI untuk meyakinkan Bupati, Danrem dan Kapolres (dalam vIdeo tak disebutkan di acara di kabupaten apa).
Sebelumnya, viral pula sebuah meme, meminta agar MUI mengeluarkan fatwa boleh tidak berpuasa Ramadhan tahun ini.
Ini semua bukti bahwa ada upaya memanfaatkan situasi corona untuk mengarahkan ummat menjauih dari kultur Islam. Ummat Islam perlu menyadari persoalan dakwah ini dan bersiap mengantisipasi secara dini. Wallahu ‘alam bisshawab.
*Penulis adalah Ketua Komisi di MUI Kota Medan dan Ketua Paniatia Pembentukan Partai Islam Ideologis (P-4II)