Oleh : Deni Asyari
“Setelah saya berkeliling di berbagai negara di dunia, saya belum pernah melihat organisasi sosial keagamaan sebesar dan sekaya Muhammadiyah.” Ungkapan ini disampaikan oleh seorang Milyarder asal Dubai, yang juga pendiri dan ketua AMCF (Asia Muslim Charity Foundation), yaitu MT. Khoory saat saya berkunjung ke Dubai, pada akhir tahun 2018 yang lalu.
Selaku orang yang aktif di Muhammadiyah, tentu saja sesuatu yang menakjubkan penilaian tersebut. Apalagi penilaian ini oleh seorang milyarder dari luar negeri.
“Tapi apakah benar Muhammadiyah sekaya dan sebesar itu?” pikir saya. Sebab Muhammadiyah bukanlah organisasi perdagangan atau bisnis besar seperti yang dikelola oleh para taipan-taipan 9 naga itu. Muhammadiyah juga bukanlah organisasi politik yang bisa kapan saja “bergelantungan” menggunakan triliunan anggaran negara. Muhammadiyah juga bukanlah “organisasi relawan-relawanan”, yang ujung-ujungnya, ITU.
Justru yang saya lihat, Muhammadiyah adalah organisasi dakwah dan sosial, yang kerja-kerja amaliahnya banyak tumbuh dari bawah, amal usahanya banyak atas sadoqah jariyah warganya, kegiatannya hanya memberikan pendidikan kepada umat, melayani orang yang sakit, dan membantu masyarakat miskin.
Lantas, dari manakah Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi yang kaya oleh milyarder asal Dubai ini? Barangkali, saya mencoba menganalisanya dan meraba-raba. Mungkin sebagai ketua organisasi Charity sekelas Asia yang menangani berbagai bantuan sosial keagamaan di berbagai negara, MT. Khoory sudah melihat berbagai aktivitas gerakan charity yang digerakkan baik oleh perseorangan maupun organisasi. Sehingga, beliau bisa dengan mudah membandingkan, kerja-kerja kemanusiaan di belahan bumi Asia ini.
Iya, tentu saja bisa demikian, tapi yang jelas MT Khoory lah yang tahu persis alasannya. Namun sejak dulu, saat saya mengenal organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini, hal pertama yang diajarkan oleh murid Syeikh Khatib Al Minangkabawi (Imam Besar Masjidil Haram) ini adalah, bagaimana Muhammadiyah dapat “mengubah” teks-teks Al Quran, menjadi sesuatu yang tampak dan dirasakan ummat
Maka, saat Kiyai Dahlan mengajarkan berulang-ulang surat Al Maun, beliau sempat menghentikan pengajaran itu pada suatu hari. Sang murid pun heran dan bertanya, “kenapa Kiyai Dahlan tidak melanjutkan pengajaran surat Al Maun? namun singkat cerita, Kiyai Dahlan hanya menjawab, sudahkah kalian mengamalkan kandungan teks Al Maun tersebut? Jika sudah maka kita akan lanjutkan, jika belum, pergilah kalian menemukan orang-orang miskin yang ada disekitar, dan berilah bantuan”, ungkapnya.
Konsep pengajaran ini, hingga usia Muhammadiyah 107 tahun, telah menjelma menjadi semangat dakwah dalam setiap usaha yang dikelolanya, dengan menjadikan usahanya sebagai gerakan amal. Oleh karenanya, dalam Muhammadiyah, jenis-jenis usaha seperti sekolah dan perguruan tinggi, rumah sakit, perbankan, lembaga sosial, disebut dengan istilah “amal usaha” bukan lembaga usaha atau sejenisnya.
Sebab setiap usaha yang dikelola Muhammadiyah, harus bernilai amal sosial. Berapapun keuntungan Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan, rumah sakit, lembaga keuangan dan sebagainya, sesungguhnya bukanlah dana Muhammadiyah baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Melainkan adalah dana ummat dan kemanusiaan yang sewaktu-waktu disalurkan untuk membantu masyarakat dan bangsa ini.
Maka, di tengah bencana yang terjadi dimana-mana, Muhammadiyah selalu hadir dalam amal sosialnya. Untuk menyebutkan yang terbaru saja, ketika terjadi longsor hebat di Jawa Barat, Muhammadiyah dirikan ratusan rumah rakyat, ketika terjadi gempa di Lombok dan Palu, Muhammadiyah bangun rumah-rumah warga, rumah sakit dan lembaga pendidikan. Ketika masyarakat daerah pulau pinggiran yang susah akses kesehatan, Muhammadiyah siapkan puluhan Klinik Apung, ketika masyarakat Kupang NTT mengalami kekeringan air, Muhammadiyah belikan puluhan hektar lahan untuk melakukan reboisasi untuk ditanamkan berbagai jenis tanaman.
Bahkan, di tengah pandemi Corona, disaat semua usaha masyarakat kolap, disaat semua orang beraktivitas di rumah saja, di saat para pejabat saling silang pendapat tentang berbagai kebijakan corona, justru Muhammadiyah menyiapkan 71 rumah sakitnya untuk membantu pasien covid-19, dan melalui Perguruan Tingginya, Muhammadiyah menggelontorkan 78-an Milyar bahkan 100 Milyar dengan berbagai jenis bantuan. Ini baru dari rumah sakit dan perguran tingginya, belum bantuan-bantuan dari lembaga ZIS-nya, bantuan dari warganya yang katanya jumlahnya sedikit.
Tidak hanya untuk ummat, bahkan tanggung jawab negara pun, dipikul Muhammadiyah untuk menalangi, dengan menghutangi negara 1,2 triliun, demi para pasien rumah sakit yang sudah membayar iuran kesehatannya kepada negara.
Kenapa ini bisa dilakukan Muhammadiyah? Bukankah organisasi ini menurut “survey-survey” itu anggotanya tidak banyak dibandingkan organisasi sosial dan organisasi politik yang lainnya? Dan bukankah, pengurusnya tidak banyak –untuk menyebut tidak ada–, yang menjabat dipemerintahan, mulai dari kelas presiden, wakil presiden, DPR/D sampai Bupati/Walikota?
Mungkin untuk jawaban pertanyaan ini, perlu juga “survei-survei-an itu” dibuat lagi oleh lembaga-lembaga survei kayaknya. Mana tau pandangan MT. Khoory di atas berlebihan, begitu juga dengan tulisan saya, mana tau juga keliru, karena saya menulis status ini tidak pakai survei-survei itu.
Namun yang jelas, sebagai catatan, bahwa sekecil apapun peran Muhammadiyah untuk umat dan bangsa ini, tidak ubahnya ibarat lirik lagu Kasih Ibu yang sering didendangkan para orang tua untuk anak-anaknya,
“Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya, menyinari dunia”. Teruslah berjuang, tanpa ada kata lelah untuk ummat dan negeri
(Judul oleh redaksi)