Belum Tiba Waktuku
Oleh : Pipiet Senja
Ini kejadiannya Jumat, Maret, 2009. Dinihari, akhirnya aku menyerah pada keputusan Butet.
“Pokoknya, kalau jadi orang tua itu, ya harus nurut sama anak! Haruuus!”
“Hmm, hmmm, iyalah, iyalah,” gumamku setengah ngelindur, setengah sadar.
Sejak petang sampai sepanjang malam aku jerit-jengker alias kesakitan luar biasa. Sumbernya dari bagian perut serasa ditusuki ribuan jarum. Sampai aku sempat kepikiran, jangan-jangan ini kena guna-guna bini muda, ya? Ops, apaan tuh?
Kemudian rasa sakit itu merambah ke mana-mana, ke sekujur tubuhku, serasa nyerinya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi aku tak berani mengeluh, nanti malah dibilang Butet : Mama lebay!
Beberapa kali aku muntah hebat, dua-tiga kali serasa antara sadar dengan tiada alias semaput.
“Taksinya sudah dapat tuh, Ma, nunggu depan rumah si Arab. Ayo, sini, Butet gendong saja, ya Ma, ya,” kata Butet berusaha mengangkat tubuhku.
“Gak, iiiih, jangan menghina! Gini-gini Mama masih bisa jalan, tauuuk!” tolakku, meskipun jalanku serasa melayang-layang tak karuan.
“Mama ini, ya, sudah parah gini masih aja tengsin!” gerutu Butet, disambarnya ransel berisi bajuku alakadarnya, membiarkanku jalan di sebelahnya. Tepatnya, aku bertumpu ke badannya, sehingga pada akhirnya memang seperti digendong jualah.
“Maafkan Mama, ya Nak, ngerepotin melulu.”
“Pssst, jangan ngomong gitu terus, ah!”
Kutahu, putriku yang gagah ini, pejuang sejati, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir dan sedihnya.
“Ke mana, Dek?” tanya sopir taksi.
“Ke RS. Polri di Kramat Jati, ya Pak,” jawab Butet, duduk di depan.
Sementara aku duduk di jok belakang, langsung membaringkan tubuh. Dari kaca spion, aku bisa melihat sosok itu, hanya berdiri saja dari kejauhan. Ya, hanya berdiri dan mengawasi dengan wajahnya yang membeku. Biarlah, memang sudah terbiasa melihatnya begitu.
“Butet sempat minta uang tadi sama Papa, Ma, dikasih cepe,” suara Butet terdengar serak.
“Tidak mengapa, Nak, alhamdulillah, buat taksi,” sahutku sambil menjawil lengannya, mengisyaratkan agar tidak banyak bicara.
Otakku langsung berhitung keras, terakhir isi ATM sekitar 300-an ribu. Tapi aku masih bisa berharap, bosku yang baik hati, siang nanti akan transfer sebagaimana kuminta semalam. Sebelumnya aku telah menyerahkan sebuah naskah untuk dibeli putus.
Jalanan masihlah lengang, dalam keheningan aku memperbanyak zikir. Hanya kepada-Nya, hamba yang lemah ini memohon bantuan. Dalam tempo tak lebih dari 30 menit, kami pun sampai, melalui pintu belakang dari arah tol.
Di bagian UGD, aku langsung ditangani dengan baik. Ini rumah sakit memang patut diberi acungan jempol. Beberapa kali ke sini, paramedisnya tak pernah mengecewakan. Tak perlu kudu menunggu duit dulu, jaminan dulu. Tak seperti di RSCM, jujur saja, aku sering mengalami perlakuan tak manusiawi.
Aku langsung diinfus dan diberi obat, ternyata tak cukup obat telan, ada juga obat yang dimasukkan ke (maaf) di belakang sana, anus. Eh, ndilalah, rasa sakit yang meruyak bagian perutku masih juga terasa, melilit-lilit.
Setelah menunggu hasil laboratorium, ternyata HB-ku di tataran 5,1. Dokter banyak menanyakan sejarah penyakitku. Aku menjawab di antara perasaan yang timbul-tenggelam. Akhirnya, Butet memberi banyak keterangan.
Kemudian dokter polisi itu bilang: ”Ibu harus dirawat ya!”
“Ya, ibu saya ini memang harus dirawatlah, dokter,” sambut Butet, di kupingku terdengar tak ubahnya ultimatum saja.
Eh, ndilalah, sempat-sempatnya itu anak meledekku sambil mengedipkan sebelah matanya, ceriwis.
“Rasain loh, Mom, makanya jangan wara-wiri melulu!”
Ehm, kalau sudah sehat; awaaaassss!
Beberapa saat kemudian, sekitar pukul lima subuh, ketika kumandang azan terdengar. Aku pun didorong ke ruang Cendrawasih 2 lantai dua.
Saat-saat didorong perawat, dan hanya diantar oleh seorang anggota keluargaku begini, ada yang mendadak serasa menyayat-nyayat relung hatiku.
Aku sempat berpikir, apa hanya seorang saja yang mengantarku jika tiba waktuku, dijemput oleh malaikat Maut?
“Tenang, ya Mama, biar cepat sembuh. Biar kita bisa JJS lagi, oke, Mom sayang,” bujuk Butet sepertinya bisa menebak perasaanku.
Terasa elusan tangannya di pipiku, bahkan dia menyempatkan waktu mencium keningku sekilas. Sesungguhnya hatiku semakin tersayat sembilu, tapi, aku memang tak boleh memperlihatkannya. Tidak boleh!
Maka, kataku dengan riang: ”JJS itu jalan-jalan ke Singapura, ya Nak?”
“Hmmm, great! Yeah, kita akan jalan-jalan lagi ke Singapura. Harus blanja-blanji nanti sih, ya Mom. Jangan seperti waktu itu, gak bawa duit. Hihi!”
Sampailah kami di Pavilyun Cenderawasih 2. Ternyata para suster dan dokter ruangan sudah mengenaliku, mereka langsung menyapa dengan ramah. Aku ditempatkan di kamar 4.
“Maaf, ya Bu, gak ada selimut. Nanti agak siang baru dapat,” kata suster manis berjilbab itu.
“Oh, biarlah dengan seprei putih terima kasih, ya Sus.”
Sementara Butet langsung wara-wiri hendak mengantri darah ke PMI Pusat Kramat Raya. Biasanya dia harus naik busway. Hebohlah, seperti biasanya.
Maka, tinggal aku sendirian di ruangan dengan empat tempat tidur itu. Dua ranjang di depanku kosong. Di sebelahku seorang pasien gangguan ginjal, badannya gede nian. Karena sudah tak bisa menyerap protein, kata suaminya tanpa diminta menjelaskan sekilas.
Sejak aku datang, kerjanya hanya mengerang dan mengomeli suami serta anak laki-lakinya yang tampak begitu sabar mendampingi. Hmm, kapan aku diperlakukan begitu oleh dia, ya?
Setelah sholat subuh dengan cara berbaring, perasaanku mulai enakan, nyaman. Agaknya obat-obatan mulai mempengaruhi tubuhku. Karena kedinginan, maklum, ruangannya Full AC, kurungkupkan saja seprei putih itu ke sekujur tubuhku; brukkkkk!
Entah berapa lama diriku dalam posisi berbalun seprei putih begitu. Kurasa yang dinas pagi belum tiba. Buktinya, seprei putih masih nongkrong dengan megahnya, menyelimuti sekujur tubuhku. Samar-samar kudengar orang berkasak-kusuk. Kuintip pelan dari sela-sela seprei putih selimutku itu. Tampak ada dua ibu nongol di ambang pintu; yang satu muda, satunya lagi mungkin sebayaku.
“Pssst, Bu, apa sudah pergi ini, ya? Si ibu yang datang subuh tadi itu loh, Bu?”
“Waduh, kasihan amat, ya? Bukannya tadi anaknya mau cari darah ke PMI Pusat?”
“Apa gak ada keluarganya yang lain, ya Bu?”
“Auuuk, ah, pokoknya kasihaaaan….”
“Itu kenapa ya, kira-kira, ngapain dibegitukan sama suster, yaaak?”
“Yah, biar gak kelihatan mayatnyalah, oon!”
Apa? Mereka mengira aku sudah mati nih? Masya Allah! Kesal campur geli, serentak kubuka seprei yang menutup mukaku, nyaris kulempar.
Tanpa berkata-kara aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, kurasa ibu dan anak; ”Dadadadaah!”
“Wooooaaaa!”
Kedua perempuan itu serentak ngacir sambil cekikikan
Dih, diiih, kacoooow!
“Buteeeet, buruan datang, Naaak,” ratapku pula dalam hati.