(Foto : Catatan @ratnapwt)

ROMANTIKA CINTA RASUL

Oleh : Syatiri Matrais, Lc. MA

(Foto : Catatan @ratnapwt)

Aku rela walau hidup susah

Aku rela walau menderita

Asalkan bersama dalam suka duka

Aku rela walau hidup susah

Aku rela walau menderita

Asalkan kau sayang asal kau setia

Pagi makan sore tiada

Takkan luntur cintaku padamu

Baju satu kering di badan

Takkan pudar sayangku padamu

Walau hidup ini di gubug derita

Lirik lagu ini bernuansa kemesraan dan keromantisan dua insan yang dimabuk cinta, walau hidup di gubuk derita. Lirik ini, apakah ungkapan hati sebenarnya? ataukah hayalan, hanya manis di bibir saja untuk mendapatkan cinta seseorang. Tetapi selama empat belas abad sebelum lirik itu diciptakan, Rasulallah sudah mempraktekkan romantisme cintanya, kemesraan jiwa, dan keharmonisan rumah tangga dengan para istrinya. Romantisme Rasul jauh lebih hebat ketimbang ungkapan gubahan syair lagu di atas yang belum terbukti kenyataannya.

Rasulallah, tidak hanya dikenal sebagai pemimpin ummat, pengemban amanat ilahi, pembawa risalah sebagai rahmatan lil a lamin. Tetapi dalam kehidupan biduk cintanya، ternyata begitu mempesona, seorang yang romantis dalam membangun cintanya kepada para istrinya. Wajarlah kalau semua istrinya ingin dimanjakan, dibuai dengan kemurnian kasih sayangnya. Cinta sejati, penuh empati dan simpati, pengertian, tulus, ikhlas dalam memberikan kebahagiaan untuk istrinya. Bukan cinta yang semu, penuh kepalsuan, tipu muslihat untuk mendapatkan keinginannya, sehingga tumbuh cinta karena harta, cinta karena tahta, bukan cinta dengan rasa dan jiwa.

Suatu ketika Aisyah bercerita bahwa dirinya dan Rasulalah pernah mandi berdua, makan satu piring dan minum satu gelas, bahkan nabi menggigit daging bekas gigitan Aisyah. Begitu indah nuansa cintanya.

Kata Aisyah : “Aku pernah mandi janabat bersama Rasulullah dengan satu tempat air. Tangan kami bergantian mengambil air.” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah juga pernah minum di gelas yang digunakan Aisyah. Beliau pernah makan daging yang sudah digigit Aisyah (HR Muslim).

Keharmonisan tercipta ketika kondisi rumah tangga tenang dan tentram. Bagaimana saat kondisi rumah tangga Nabi kurang nyaman? apakah tetap ada kemesraan di dalamnya? Dalam membangun mahligai rumah tangga, memang selalu ada gesekan. Ibarat piring yang disusun di atas rak, ada saja yang bergesekan satu sama lain sehingga terdengar bunyi. Begitupun biduk rumah tangga, ada saja konflik keluarga, baik konflik sederhana maupun berat.

Rumah tangga rasul pernah terjadi gesekan antara Hafsah binti Umar bin Khattab dengan Shafiyah binti Huyaya. Hafsah pernah menyakitkan hati Shafiyah dengan mengatakana Shafiyah perpemuan Yahudi. (Shofiyah anak dari Yahudi Bani Nadhir yang dikalahkan dalam peperangan ).

Mendengar ejekan itu Shafiyah menangis dan mengadu kepada Nabi. Rata Rasulallah, “Wahai Shafiyah, kamu adalah saudara dari Nabi Harun dan pamanmu Nabi Musa , maka kamu termasuk keluarga para nabi”. Mendengar Nabi berkata seperti itu, Shafiyah merasa terhibur hatinya. Nabi begitu bijaksana dalam memberikan jawaban, tidak menyalahkan Hafsah yang menghina Shafiyah dan juga memberikan kenyamanan kepada Shafiyah.

Kemesraan lain dari Nabi pernah disaksikan Anas dalam sebuah hadits yang riwayat imam Bukhari, “Dari Anas berkata : “Kemudian kami pergi menuju Madinah. Aku lihat Rasulullah menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah (salah satu istri Rasulullah) kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga ia bisa menaiki unta tersebut”. (HR Bukhari). Begitulah Rasulallah memuliakan istri

Romantisme cinta Rasulalah begitu mesra , tidak hanya dipertunjukkan di rumah, tetapi pernah ditunjukkan di depan umum. Ketika itu ada sekelompok penghibur bermain di pelataran masjid. Lalu Rasulallah kepada kepada istrinya Aisyah, “Apakah kamu mau melihat permainan itu? “Ya” , jawab Aisyah. Kemudian Rasulalah berdiri dan Aisyah merangkul Rasullah sambil menempelkan pipinya dengan pipi Rasulallah.

Begitu mesra nya mereka berdua sampai tak terasa permainan usai. Kemudian pemain itu izin pulang dan pamit kepada Rasulallah. Ketika itu Rasul tidak mengiyakan, beliau bertanya kepada Aisyah, “Apakah kamu sudah cukup menyaksikan pertunjukannya? ” “Belum”, jawab Aisyah. Rupanya Aisyah ingin berlama lama memeluk Nabi. Kemudian Nabi meminta kepada pemain itu untuk meneruskan permainannya lagi hingga Siti Aisyah merasa puas.

Kemesraan Rasulallah dengan para istrinya bukan kepalsuan belaka tetapi tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam. Kalau saja kasih sayang, kemesraan, dan romantisme cinta Rasulalah hanya diucapkan di mulut atau hanya pemanis bibir, tentu tidak merasuk ke dada getaran cinta mereka. Perbuatan Rasulalah merupakan cahaya batin yang tercermin dari keikhlasan. Amal yang diisi dengan keikhlasan akan menuai kesan yang indah.

Ibnu Athailillah dalam Al Hikam berktata,

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا

“Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya.”

Komunikasi Istri ataupun suami harus dilandasi sebuah keikhlasan, tidak ada dusta di antara keduanya. Terkadang masih banyak di antara suami istri melakukan komunikasi yang terbatas. Mesra di saat ada yang diinginkan. Marah disaat keinginannya tidak terkabulkan. Tetapi Rasulalah tidak demikian. Ketika beliau pernah kecewa dengan Siti Aisyah, justru beliau merangkul Aisyah dan mengatakan, “Marahku hilang dketika memelukmu.”

Romantisme cintanya Rasulallah dengan para istri sejatinya ada dalam rumah tangga kita. Karena itu bangunlah komunikasi dengan landasan kejujuran dan keikhlasan antara suami dan istri, untuk membangun mahligai rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Wallahu a’lam.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur