Oleh: Tarmidzi Yusuf
Kabinet sudah diumumkan. Wajah ceria dan sumringah para menteri baru. Ada juga yang kecewa terutama nama-nama yang banyak disebut ternyata batal jadi menteri terutama dari lingkaran Partai Koalisi Jokma (Jokowi-Ma’ruf). Sudah berjuang akhirnya gigit jari. Sebut saja Yusril Ihza Mahendra (YIM) gagal jadi Menteri dan PBB gagal ke DPR. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin saja hiburan bagi YIM jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau anggota BPIP.
Dilihat dari komposisi, kelihatan sekali kabinet gado-gado. Diramu dari partai Koalisi Jokma dibumbui masuknya partai non koalisi, Gerindra dengan dua pos kementerian, yaitu Menteri Pertahanan dan KKP. Bumbu untuk meredam gejolak politik residu misteri Pilpres 2019. Tamparan keras bagi cebong yang selama ini mati-matian membela Jokma. Sementara mayoritas kampret tepuk tangan. Ada tiga partai koalisi Jokma yang tidak masuk kabinet, PBB, PSI, Hanura dan PKPI. Gagalnya tiga partai tersebut kemungkinan besar karena gagal mengirimkan kadernya ke parlemen.
Masuknya para professional sebagai penyedap rasa yang diklaim non partisan partai walaupun sebenarnya mereka partisan juga sebagai timses Jokowi seperti Nadiem Makarim, Erick Thohir dan Wisnuthama.
Yang mengejutkan adalah NU. Sepertinya pada Kabinet Indonesia Maju tidak punya perwakilan. Agak aneh juga padahal PBNU mendukung Jokma dan Wakil Presiden dari NU. Ironi bagi Ma’ruf Amin tidak dapat memperjuangkan kader NU di kabinet. Ida Fauziyah sebagai Menteri Ketenagakerjaan dan Abdul Halim Iskandar sebagai Menteri Desa dan PDTT merupakan representasi PKB bukan NU walaupun keduanya orang NU. Ida Fauziyah misalnya Ketua Umum Fatayat NU. Sedangkan Abdul Halim Iskandar Ketua DPW PKB Jawa Timur. Beda halnya dengan Muhammadiyah. Muhadjir Effendy dari Muhammadiyah dapat posisi Menko PMK. Muhadjir Effendy adalah Ketua PP Muhammadiyah periode 2015 – 2020.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah posisi Menteri Agama. Secara konvensi sejak kemerdekaan posisi Menteri Agama selalu ditempati orang yang terafiliasi baik partai maupun ormas NU. Dalam catatan saya sejak Indonesia merdeka hanya sekali Menteri Agama dari Muhammadiyah yaitu Prof. A. Malik Fajar pada era Presiden BJ. Habibie (1998 – 1999).
Pada kabinet sekarang Menteri Agama dijabat oleh Fachrul Razi mantan Wakil Panglima TNI. Konon kabarnya untuk memberantas radikalisme. Facrul Razi merupakan Menteri Agama ketiga berlatar belakang militer. Sebelumnya Menteri Agama berlatar belakang militer pada era Soeharto, yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978 – 1983) dan Tarmizi Taher (1993 – 1998).
Kita berharap pada era Fachrul Razi definisi yang jelas tentang radikalisme. Kecurigaan ummat Islam terhadap istilah radikalisme sebagai upaya untuk mendiskreditkan ummat Islam. Kecurigaan ini cukup beralasan apalagi figur-figur tertentu masih ada di kabinet. Figur yang ditengarai terafiliasi dengan kelompok anti Islam.
Jangan sampai ketika ummat Islam mengamalkan ajaran Islam dicap radikal dan intoleran. Karena Islam sendiri tidak mengajarkan radikal dan intoleran. Islam agama yang damai dan sejuk, agama rahmatan lil alamin.
Jangan pula ada agenda terselubung misalnya sekulerisasi Islam dengan kedok deradikalisasi dan nusantaraisasi Islam. Biarkan Ummat Islam melaksanakan ajaran Islam sesuai al-Quran dan Sunnah. Mari kita bahu membahu melawan orang atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam melakukan kekerasan dan tindak pidana lainnya.