Oleh: Tabrani Sabirin
Petualangan Yusuf Mansur dalam mengumpulkan uang sedekah sudah merusak ajaran Islam dan meracuni pikiran pendengar yang pasti mayoritas umat Islam.
Yusuf Mansur memang lincah dalam berkomunikasi. Retorikanya sangat memukau. Ditambah dengan cerita-cerita yang menyihir pendengar. Rasa dan akal dia padukan sehingga menghasilkan cerita yang runut. Maka jadilah seolah-olah semua yang disampaikannya benar.
Tapi siapapun yang belajar agama Islam secara benar akan melihat kesalahan fatal yang disampaikan Yusuf mansur itu dan merusak ajaran Islam. Banyak yang sudah mengungkap bagaimana Yusuf Mansur merangkai cerita bohongnya
Kesalahan fatal Yusuf Mansur yang kita baca dari buku-buku yang ia tulis atau ceramah-ceramahnya di televisi maupun via youtube sebagai berikut:
Yusuf Mansur dalam mengutip dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran maupun hadist tidak mengutip dari kitab apa. Dia hanya mengutip ayat untuk kepentingan sedekah. Atau Yusuf Mansur dapat merujuk kepada ulama tertentu. Sebagai seorang yang sudah menjadi anggota NU dan Banser tentu taqlid kepada Imam Syafi’i tentu akan lebih selamat. Misalnya dalam manafsirkan ayat merujuk kepada kitab tafsir Ibnu Katsir yang sudah diakui dan diterima dikalangan Ahlussunnah. Selain itu Imam Ibnu Katsir juga murid Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan bermazhab Syafi’i.
Dalam bidang hadits bisa merujuk kepada Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany juga bermazhab Syafi’i. Atau kitab Shahih Muslim syarah Imam An-Nawawi juga bermazhab Syafi’i. Malah Imam Nawawi juga merangkum pendapat fikih dari pengikut Syafi’i dalam kitab Almajmu’ Syarah Almuhazzab.
Yusuf Mansur hanya “ngarang” cerita-cerita fiktif untuk menggugah emosi jemaahnya. Maka muncul istilah ‘kun fa yakun’ dan ‘matematika sedekah’. Seolah-olah bersedekah bisa diurai seperti memasang lotre. Semakin besar taruhannya makan akan mendapatkan keuntungan semakin besar. Logika semacam ini jelas keliru dan menyesatkan.
Menurut Imam IbnuAaljauzi dalam kitabnya Talbis Iblis (Perangkap Iblis) dijelaskan bahwa orang-orang suka menafsirkan ajaran Islam dengan tidak merujuk kepada hadist maka dia akan terperangkap dalam jebakan iblis.
Dalam mengutip hadits-hadits pun seseorang harus mengetahui apakah hadits itu shahih atau bukan. Maksudnya apakah suatu hadits layak dijadikan sebagai dalil.
Yusuf Mansur tidak peduli dengan rambu-rambu beragama seperti ini. Dalam cerita-cerita fiktif Mansur berani bersumpah dengan nama Allah dan juga membawa-bawa anaknya yang masih ingusan berjumpa dengan Rasulullah SAW lalu Rasulullah menegurnya. Bahkan Yusuf Mansur juga bersaksi bahwa dirinya sudah beryaqzah atau berjumpa dengan nabi Muhammad SAW dalam keadaan sadar, bukan mimpi. Ini jelas suatu kesyirikan dan kekufuran. Sekiranya Yusuf Mansur membaca hadits lanjutan bermimpi Nabi Muhammad SAW ada kalimat berikutnya yaitu ancaman prioritas untuk masuk neraka bagi yang berbohong atas nama Nabi Muhammad secara sengaja.
Kalau kita buka lembaran sejarah Islam, kerusakan Islam itu dimulai dari pemahaman Islam tanpa melihat kepada hadits serta tidak mau belajar kepada shahabat Nabi Muhammad SAW yang masih hidup atau kepada ulama yang menjadi murid dari sahabat tersebut.
Sikap keras kepala dan tidak mau mendengar ini membuat pintu hidayah tertutup. Setelah jalan kebenaran ditinggalkan maka tokoh-tokoh agama hanya beragama sesuai dengan hawa nafsu. Atau menggunakan Islam untuk membela jalan yang sedang dia tempuh. Disinilah muncul berbagai penyimpangan. Dalam masalah aqidah yang pertama, lalu diikuti penyimpangan dalam masalah ibadah dan muamalah.
Karena itu kata ulama Sofyan As Tsauri dan ulama-ulama yang lain “Sesungguhnya bid’ah itu lebih disukai iblis dari pada kemaksiatan. Karena dosa maksiat bisa diampuni karena bertaubat, semantara pelaku bid’ah tidak mau tobat karena apa yang dilakukan telah diyakini sebagai suatu kebenaran”.
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma bereaksi sangat keras ketika namanya dicatut oleh pengikut Murjiah bahwa terbakarnya salah satu dinding Ka’bah oleh pasukan Hujjaj bin Yusuf dalam memerangi Abdullah bin Zubeir sebagai suatu yang sudah dikehendaki oleh Allah.
Mendengar “fatwa” dari kaum Murjiah itu reaksi Ibnu Umar adalah berlepas diri dari keyakinan seperti itu. Dampak dari suatu keyakinan yang sesat akan menyesatkan banyak orang. Sementara pelaku maksiat hanya akan menanggung dosa untuk dirinya sendiri.
Kembali kepada kesesatan Yusuf Mansur ini tentu harus segera dihentikan. Dalam suasana demokrasi seperti di negara kita saat ini maka seyogyanyalah pemerintah mengatur tata tertib penyebaran agama bahkan juga aturan untuk perorangan atau organisasi dalam menyampaikan keyakinannya di muka umum. Jangan masa bodoh saja para ulama yang tergabung di MUI.