Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Universitas Djuanda Bogor)
Saudaraku, sekali waktu barangkali engkau pernah merasakan sulit sekali bersyukur. Hidup terasa hampa. Banyak keinginan tak kunjung terpenuhi. Akibatnya, hati terasa keras dan membatu.
Kesombongan pun menyelimuti kehidupanmu dari hari ke hari. Dan saat mendapat nasehat dari saudara, teman, atau kiai sekalipun, engkau merasa digurui. Ketahuilah sesungguhnya engkau tengah terjangkit penyakit “qaswatul qolb” atau hati yang keras dan membatu.
Semakin banyak kemaksiatan kita lakukan sesungguhnya semakin membuat hati kita mengeras dan membatu. Allah SWT berfirman,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 74)
Maka, kata Ibnul Qayyim, “Hati seseorang yang telah kering dan membatu, ia bagaikan pohon yang meranggas dan mati. Keduanya hanya pantas dilalap api”. Naudzubillah.
Memang, ada banyak sebab kerasnya hati. Qadhi al-Fudail berkata, “Tiga peristiwa yang menyebabkan hati membatu; terlalu banyak makan, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak berbicara”. Bahkan, makan yang berlebihan merusak kesehatan badan. Ibnu Sina, pakar kedokteran Islam generasi awal, berkata, “Perhatikanlah konsumsi perutmu sebab sebagian besar penyakit bermula dari makanan yang berlebih”.
Karena itulah, Ali bin Abi Thalib berkata, “Istirahatnya badan dengan mengurangi makan, istirahatnya lidah dengan mengurangi berbicara, dan istirahatnya hati dengan mengurangi keinginan”.
Untuk mengindari penyakit “qaswatul qolb”, Rasulallah ﷺ mengajarkan kepada kita, setidaknya, tiga hal:
Pertama: Pandailah bersyukur. Suatu hari, seorang sahabat datang kepada Rasulallah ﷺ dan berkata, “Akhir-akhir ini aku merasakan hatiku keras, Rasulallah ﷺ kemudian berkata, “Maukah engkau kuberi tahu cara untuk melembutkannya dan keinginanmu terpenuhi? Sayangilah anak-anak yatim, usaplah kepalanya, berikanlah mereka makanan dari makananmu, niscaya (hal demikian) akan melembutkan hati dan melapangkan rizkimu”. (HR Thabrani).
Maka, ketika kita menjamu yatim, menawarkan mereka makanan terbaik yang kita miliki bukan saja ia melembutkan hati, namun mengantarkan kita pada hadits Rasulallah ﷺ lainnya, “Aku dan orang-orang yang mengurus anak yatim kelak akan berdampingan seperti dua jari ini di surga”.
Kedua: Seringlah berziarah kubur, tentu dengan niat yang benar. Rasulallah ﷺ berkata, “Aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarah. Sebab sesungguhnya ia akan melembutkan hati, melelehkan air mata, dan mengingatkan akherat.”
Ziarah kubur dengan tujuan mengingat akherat adalah hal yang dianjurkan. Dengan mengingat kematian, tersadarlah kita bahwa tak ada yang abadi di muka bumi ini. Maka, tak ada lagi yang pantas kita sombongkan. Makanan terbaik adalah madu. Ia diproduksi oleh lebah. Pakaian terbaik adalah sutera. Ia diproduksi oleh ulat. Hiasan terindah adalah mutiara. Ia diproduksi oleh kerang. Kesombongan macam apa yang pantas kita banggakan di hadapan Allah, Dzat yang menciptakan semua binatang kecil itu.
Ketiga: Bersegera melakukan kebaikan. Selain memperhatikan yatim dan berziarah kubur, Rasulallah ﷺ menganjurkan untuk bersegera dalam melakukan setiap kebaikan, hindari kemalasan. Bahkan, ketika sahabat Ibnu Mas’ud bertanya, “Ya Rasulallah, amal apa yang paling utama?” Rasulallah ﷺ menjawab, “shalat di awal waktu”. Rasulallah ﷺ kemudian mengajarkan kita untuk berdoa,
اللهم إني أعوذ بك من العجز ، والكسل ….
“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan rasa malas….”
Pepatah berkata, pemalas selalu menanti hari mujur. Padahal, bagi seorang yang rajin, tiap hari adalah hari mujur!. Lalu, jika kita tetap merasa banyak keinginan hati yang belum terpenuhi, berbaik sangkalah pada Allah. Barangkali, ada hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan. Boleh jadi, ada makanan tidak halal yang kita konsumsi dalam keseharian. Belajarlah untuk beristighfar sebab azab terberat di dunia adalah ketika Allah telah mengunci lidahmu untuk berdzikir dan beristigfar kepada-Nya.
Bahkan, kata Ibnul Qayyim lagi,
إٍذَا طَالَ عَلَيْكَ وَقْتُ الْبَلاَءِ مَعَ اِسْتمْرَاركَ بِالدُعاَءِ فَاعْلَمْ أنَ اللهَ لَنْ يُريْد إجَابَة دَعْوَتكَ فَقَطْ ..!! بَلْ يُُريْدُ أنْ يُعْطِيْكَ فَوْقَهَا عَطَايَا لَمْ تَطْلبهَا أنْتَ.
“Apabila musibah yang engkau rasakan berkepanjangan, padahal tak pernah berhenti engkau berdoa, yakinlah bahwa Allah tidak saja hendak menjawab doa-doamu itu. Tetapi, Allah hendak memberimu karunia lain yang bahkan engkau tak memintanya”.
Semoga kita semua terhindar dari hati yang keras dan membatu. Wallahua’lam bis showwab.