Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Di awal Desember 2018, Yusuf Mansur membuat kejutan. Dengan percaya diri ia mengumumkan bahwa pihaknya, dalam hal ini PayTren (PT Veritra Sentosa Internasional) akan membeli saham klub sepak bola asal Polandia Lechia Gdansk. Salah satu pemain Indonesia, Egy Maulana Vikri bergabung dengan klub papan atas di Liga Polandia tersebut.
Waktu itu Yusuf mengatakan bahwa PayTren akan membeli saham Lechia sebesar 10 persen, dengan nilai 2,5 juta euro yang setara dengan Rp 41,2 miliar. “Kami jadi pemilik saham dari klub papan atas Polandia Lechia Gdansk. Investasi pertama 2,5 juta Euro yang akan kami bayar mulai Juni dengan masa angsuran selama 7 bulan,” katanya.
Dana sebesar itu, menurut Yusuf, berasal dari patungan seluruh nasabah PayTren. “Kami berharap ada 1 juta pecinta sepak bola yang patungan untuk memiliki Lechia Gdansk. Kira-kira Rp 42 ribu perak saja sahamnya yang dibagi 7 bulan ketemunya Rp 6 ribu dan dibagi 30 hari ketemunya 200 perak perhari. Ini menjadi semacam gimmick dari Paytren,” tuturnya.
Hitung-hitungan cukup sederhana dan terkesan tidak memberatkan investor, karena hanya Rp 6 ribu per bulan dicicil selama 7 bulan. Meski terlihat kecil nilainya, tapi itu melibatkan 1 juta orang Indonesia yang tidak begitu familiar dengan klub dari negeri Polandia yang berpenduduk 38,5 juta jiwa itu.
Investasi di dunia sepak bola mesti hati-hati. Umumnya, perusahan-perusahaan besar yang mensponsori klub-klub bola tidak mencari untung dari sini, tetapi lebih pada nge-branding perusahaannya. Jika membeli saham klub sepak bola dari luar negeri, mesti juga dilihat manfaatnya. PayTren adalah perusahaan dalam negeri yang produk-produknya dibeli oleh warga Indonesia, bukan luar negeri. Jika mau ber-investasi sampai keluar negeri, mestinya produk-produknya juga sudah Go-Internasional. Jika produk-produknya masih lokal, tidak akan punya efek secara bisnis.
Memang, sebagai pemilik saham dan sponsor di setiap laga, logo PayTren bisa jadi terpampang di sekitar lapangan bola. Bahkan, bisa jadi nempel di kaos yang dipakai oleh pemain Lechia. Untuk apa? Untuk tampang-tampangan doang? Ya tidak berpengaruh.
Di dunia bola, jika sebuah klub memenangkan kejuaraan liga, misalnya, banyak sponsor yang mendekat. Minimal tiga besar akan jadi rebutan para sponsor. Persoalan akan berbalik ketika klub tadi ternyata keluar dari 3 besar di negerinya. Para sponsor akan lari dan mengalihkan perhatiannya kepada klub-klub yang berada di papan atas. Inilah masalahnya. Jika membeli saham tujuannya untuk nge-branding dan untung, akan menjadi sebaliknya ketika klub yang sebelumnya berada di papan atas, tiba-tiba performanya memburuk. Dan itu sangat mungkin, karena dunia sepak bola penuh ketidakpastian dan dinamikanya begitu tinggi.
Tentang Lechia, di tahun 2018 memang moncer, berada di urutan teratas. Tapi kini, posisi Lechia tak lagi di urutan teratas, tapi jauh melorot. Dari 15 klub yang ada, Lechia berada di urutn 10. Secara bisnis menjadi tidak menguntungkan.
Jika membeli saham adalah untuk investasi, maka keuntungan yang diharapkan akan sangat bergantung dengan prestasi dari klub tersebut. Jika tiba-tiba performanya memburuk, maka keuntungan yang diharapkan akan menjadi angan-angan belaka. Mengapa? Ketika sebuah klub berada di papan atas, maka ia akan mendapat banyak sponsor, dan punya hak siar yang bisa dijual dengan harga tinggi. Sebaliknya, jika performanya kurang begitu baik, maka bukan untung yang didapat, tetapi malah buntung.
Lalu, bagaimana kelanjutan pembelian saham Lechie Gdansk? Melihat performa Lechia yang tidak lagi moncer, adakah Yusuf Mansur akan terus melanjutkan membeli saham dengan nilai Rp 41,2 miliar tersebut?
Boleh jadi, Yusuf tidak melanjutkan pembelian saham 10 persen tersebut. Bisa jadi, pihak Lechia, dengan berbagai pertimbangan, tidak jadi menjual sahamnya ke Yusuf Mansur. Adapun Yusuf Mansur sendiri sudah tidak lagi bersemangat sebagaimana semangatnya di bulan Desember 2018 lalu.
Lalu, bagaimana dengan uang investor yang sudah disetor untuk beli saham Lechia Gdansk? Karena nilai sahamnya tidak besar, bisa jadi tidak ada gejolak. Tetapi, karena ini termasuk menghimpun dana publik, tetap ada pertanggunggjawabannya. Dan itu biasanya yang selalu dianggap remeh oleh Yusuf Mansur.