Oleh: Radhar Tribaskoro
Komisi Pemilihan Umum (KPU) seyogyanya dilaporkan sebagai pelaku tindak kejahatan.
Kejahatan yang pertama adalah kejahatan merusak atau paling tidak menyia-nyiakan anggaran pemerintah dalam projek Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU. Projek tersebut gagal memberika informasi yang bisa menjadi rujukan bagi publik, caleg maupun partai politik. Akibat kegagalan itu sistem pencegahan terhadap jual-beli, penggelembungan dan penggembosan suara tidak teratasi dan situng kehilangan fungsinya sebagai sistem referensi informasi publik.
Kejahatan kedua, adalah KPU telah mengumumkan hasil sebelum KPU menjalankan perintah Bawaslu untuk memperbaiki sistem data entry Situng. Kejahatan ini menyebabkan publik tidak dapat memverifikasi hasil penghitungan manual KPU. Perlu dicatat mekanisme verifikasi oleh saksi dalam proses manual tidak credible mengingat basis informasi hitung suara yg dimiliki saksi umumnya tidak lengkap.
Kejahatan ketiga berkenaan dengan DPT yang cacat. DPT seharusnya dihasilkan melalui coklit (pencocokan dan penelitian) yaitu kunjungan langsung ke setiap pemilih, namun diketahui bahwa terdapat 17,5 juta pemilih yg tidak diveriifkasi dengan layak. Kejahatan ini meningkatkan kerentanan pemilu terhadap aksi penggelembungan suara.
Dengan ketiga kejahatan itu hasil penghitungan suara KPU sepenuhnya batal demi hukum. []