Sebuah tradisi dalam masyarakat kita, mengaji di kuburan setelah mayat dimakamkan. Yang mengaji adalah anggota keluarga tapi lebih biasa dilakukan oleh orang berbayar. Entah apa alasan dan dalilnya, yang pasti Nabi tak pernah mencontohnya, tak pernah menyuruh. Begitu juga para sahabat, tabi’in dan muslim di era sesudahnya. Pada masyarakat Islam di belahan dunia lain, tradisi ini juga tak ada. Hanya kita di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan lebih khusus pada masyarakat Betawi.
Sekolompok orang, biasa enam orang, sengaja dibayar oleh keluarga mayat untuk mengaji di kuburan sesaat setelah pemakaman. Mereka mengaji tak ada putusnya, selama sehari semalam, tiga hari, seminggu atau sebulan. Bahkan pernah seorang kaya di Bekasi, di-ngaji-in selama setahun penuh.
Penyedia jasa mengaji ini biasanya membentuk kelompok sendiri dengan seorang pimpinannya. Dalam satu kampung ada bebebarapa kelompok. Ada juga kelompok yg tediri dari bapak dan anak-anaknya. Jika ada yang ingin memakai jasa mereka, cukup menghubungi ketua kelompoknya.
Masing-masing anggota mengaji dua kali di siang hari dan dua kali di malamnya dengan durasi dua jam. Setelah mengaji mereka boleh pulang atau melanjutkan pekerjaan mereka. Bila malam, semua anggota harus menginap di makam. Pemilik hajat, selain membayar mereka dengan harga yang disepakati sesuai lamanya waktu mengaji juga harus sediakan konsumsi, termasuk kopi dan rokok.
Biaya membayar orang mengaji di makam ini tidaklah murah. Karena itu tak jarang kita mendengar ada orang yg mewasiatkan sebagain harta atau uang yang dia tinggalkan dipakai untuk biaya mengaji ini. Ada juga yang mewasiatkan sebidang tanahnya dijual untuk biaya ini jika dia meninggal.
Di Bekasi pernah seorang kaya meninggal. Oleh keluarganya membayar sekelompok “tukang ngaji” guna mengaji di kuburannya selama setahun penuh. Sebagai imbalan atas jasanya, para “tukang” ngaji ini di-umroh-kan.
Mengaji di kuburan juga, biasanya, dilakukan jelang haul (peringatan kematian tahunan) seseorang atau beberapa orang dalam rumpun keluarga. Tapi ini biasanya tak lama, satu sampai tiga hari. Waktu mengajinya juga sama, nonstop 24 jam.
Ketika masih di pondok dulu, kami sering mendapat “panggilan” ngaji untuk acara haul ini. Ini adalah kesempatan emas. Karena di “arena” kuburan ini, hidup kami selama satu, dua atau tiga hari terjamin. Makan pasti enak dengan aneka lauk. Kopi tak putus, rokok tinggal comot. Banyak diantara kami pandai merokok dimulai dari momentum ini. Kami anak pondok yang mendapat order ini menyebut diri kami sebagai ‘Pasukan Tanah Munjung’.
(Foto-foto : Darso Arief)