Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
ADA DIALOG menarik antara Katsumoto, sang Samurai dengan pemuda Amerika bernama Nathan Algren dalam film ‘the Last Samurai’, sebuah film dengan setting tahun 1870-an. Katsumoto bertanya, ‘Kau bertempur melawan suku Indian Merah?” “Ya”, jawab Algren. “Ceritakan tentang peranmu dalam perang ini”. “Kenapa?” “Saya ingin belajar”. “Baca buku”, kata Algren. Katsumoko tersenyum dan berkata penuh santun, “Saya lebih suka mengobrol baik-baik”. Intinya pada tahun 1800-an saja, membaca adalah budaya yang sudah dikembangkan di dunia Barat. Ada seorang penikmat buku yang kukenal, ia gemar sekali membaca buku biografi tokoh-tokoh besar dunia. Dia ingin mengetahui apa rahasia dan kiat sukses mereka, sehingga ia ingin mengaplikasikan dalam hidupnya. Beberapa puluh tahun lalu, terutama saat masih kuliah, aku pun memiliki pemikiran yang sama dengannya. Sampai aku membaca quotes dari Abdul Kalam, seorang tokoh asal India bilang ‘jangan baca kisah sukses, Anda hanya akan mendapat pesan. Baca kisah kegagalan, Anda akan mendapat ide untuk meraih kesuksesan’.
DALAM DUNIA yang serba cepat dan menuntut hasil instant ini, kita sering terjebak dalam perlombaan yang tak jelas tujuannya. Paulo Coelho mengingatkan bahwa dalam proses perubahan, yang penting bukan seberapa cepat kita melangkah, tetapi ke arah mana kita melangkah. Perubahan yang tergesa-gesa tanpa arah yang jelas justru bisa membawa kita semakin jauh dari makna dan tujuan hidup yang sejati. Sebab perubahan sejati membutuhkan kesadaran, ketekunan dan kesabaran. Prosesnya mungkin lambat, tapi jika arah kita benar, maka setiap langkah kecil pun memiliki nilai yang besar.
ABDUL KALAM telah menginspirasi diriku untuk selalu berpikir out-of-box; seperti ketika ada sales menawarkan produk mobil baru, yang kutanyakan terlebih dahulu apa kelemahan atau segi minus dari produk baru tersebut. Aku tak ingin mendengarkan keunggulan dari produknya, aku tidak ingin mendengar terlebih dahulu kisah suksesnya. Di dunia yang berlomba jadi viral, kedalaman telah menjadi barang langka. Sementara yang lain berebut panggung, seorang pembaca hanya membuka halaman. Dan dari halaman itu, ia belajar; bahwa yang paling berpengaruh bukan yang paling banyak bicara, melainkan yang paling tenang menimbang. Mereka yang terpesona dengan kisah sukses akan banyak bicara, sementara yang membaca kisah kegagalan akan lebih bijak dalam memutuskan.
BAGIKU, BUKU tak pernah menawarkan hasil instant. Ia menawarkan kedalaman yang tak bisa ditarik dari kolom komentar. Dengan berpikir pelan, di tengah rezim yang menyuruh kita buru-buru mengiyakan, maka membaca adalah bentuk keberanian untuk tetap berpikir di tengah kebijakan yang seolah tampak wajar. Ada orang yang membaca sekadar untuk tahu, tapi ada juga yang membaca untuk tetap gelisah. Kerana tak semua hal perlu diselesaikan, sebagian hanya perlu direnungkan. Sampai di sini, aku kembali kepada adegan di ‘the Last Samurai’. Terjadi dialog antara Kaisar Meiji dengan Nathan Algren soal Katsumoto. Kaisar bertanya, “Ceritakan bagaimana dia meninggal (maksudnya Katsumoto)?” Nathan menjawab, “Saya akan menceritakan bagaimana kisah saat dia hidup”. Begitulah Sob. Orang yang membaca tahu bahwa kebijaksanaan bukan milik mereka yang selalu punya jawaban, tapi milik mereka yang berani tinggal bersama pertanyaan.
Sekian
Thayyibah