Oleh : Jhon Lee
Pusaka Pangeran Diponegoro yang dipamerkan: tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Kiai Gentayu, dan tongkat ziarah Erucakra.
Reproduksi ‘Penangkapan Diponegoro’ karya Raden Saleh yang diberi judul This Hegemony Life, karya Indieguerillas, duet perupa asal Jogja: Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti. Karya ini pertama kali dipamerkan di Singapura pada 2012, di gelaran Marcel Duchamp in South-East Asia.
Reproduksi ‘Penangkapan Diponegoro’ karya Raden Saleh yang diberi judul This Hegemony Life, karya Indieguerillas, duet perupa asal Jogja: Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti. Karya ini pertama kali dipamerkan di Singapura pada 2012, di gelaran Marcel Duchamp in South-East Asia.
Kamis malam, 5 Februari 2015. Seremoni sudah lama usai. Sebelumnya, lepas azan Isya, beranda depan Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur 14, Gambir, Jakarta, begitu ramai dengan para tamu undangan dan pejabat negeri.
Ada gelaran besar di gedung yang berada tepat di seberang Stasiun Gambir itu. Pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini”. Menurut saya, ini pameran luar biasa, yang berusaha menarik garis kuat antara masa silam dan kekinian.
Pameran tidak hanya menampilkan lukisan ikonik “Penangkapan Diponegoro” maha karya Raden Saleh Syarif Bustaman, namun juga menampilkan karya pelukis lama, seperti Soedjono Abdullah, Harijadi, Sumodidjojo, Basoeki Abdullah, Sudjojono, dan generasi baru seperti Hendra Gunawan.
Juga dilengkapi seni intalasi modern maupun karya seniman kontemporer kondang seperti Heri Dono, Nasirun, Srihadi Soedarsono, Entang Wiharso, karya grafis Indieguerillas dan lain-lain.
Yang menarik, Galeri Nasional juga memamerkan senjata pusaka dan pelana kuda Pangeran Diponegoro. Pusaka itu berupa tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Kiai Gentayu, dan tongkat ziarah Erucakra.
Dari sinilah cerita nyata misteri ringkik kuda gaib itu bermula.
Pintu besar di ruang pameran sudah terkunci rapat sejak empat jam lalu. Hari pertama pembukaan pameran. Tepat hari Kamis Kliwon, malam Jumat Legi, 5 Februari 2015.
Lampu-lampu ruang pameran dipadamkan. Hanya sorot lampu kecil yang menghiasi lukisan atau karya seni yang dipamerkan.
Ruang pameran pusaka peninggalan pangeran Diponegoro. Di dalam ruangan tersedia bangku panjang berlapis kain batik untuk tempat pengunjung bersemedi dan merasakan getaran aura pusaka bersejarah ini.
Ruang pameran pusaka peninggalan pangeran Diponegoro. Di dalam ruangan tersedia bangku panjang berlapis kain batik untuk tempat pengunjung bersemedi dan merasakan getaran aura pusaka bersejarah ini.
Begitu pula dengan ruangan tempat menyimpan ke tiga pusaka tak ternilai itu. Dalam balutan warna hitam, ruangan dengan luas sekitar 4×5 meter persegi itu terasa wingit.
Taburan bunga melati terserak rapi di bawah tongkat ziarah, di sekitar pelana, dan di sekeliling tombak Kiai Rondhan.
Sekitar pukul 2 malam, petugas keamanan dari Goethe-Institut Indonesien, yang bertugas menjaga ruang pamer pusaka, mendengar ringkik kuda dari dalam ruangan.
Beberapa saat dirinya tertegun. Tak percaya dengan yang dia dengar. Namun, ringkik kuda yang kesekian kali terdengar dari ruangan pusaka menyadarkannya bahwa telinganya tak salah dengar.
Pelana kuda perang Pangeran Diponegoro yang bernama Kiai Gentayu.
Pelana kuda perang Pangeran Diponegoro yang bernama Kiai Gentayu.
“Iya, ringkik kuda, sepertinya, dia sedang bernain-main di dalam ruangan,” ungkap Pak Ahmad, petugas keamanan Goethe-Institut Indonesien, kepada saya di Galeri Nasional Indonesia, Rabu sore (11/2) lalu. “Paginya saya langsung membuat laporan tertulis apa yang saya alami,” kata dia.
Mungkinkah ringkik gaib itu berasal dari energi pelana kuda berusia 186 tahun yang tersimpan rapi di dalam kotak kaca? Wallahualam.
Yang jelas, pelana kuda itu merupakan pasangan Kiai Gentayu, kuda tunggangan Pangeran Diponegoro. Seekor kuda perang berbulu hitam dengan kaki putih yang dianggap sebagai pusaka hidup. Sang pangeran memang mahir berkuda dan tangkas berolah kanuragan di atas kuda.
Istalnya begitu luas di kawasan Tegalrejo. Saat itu, sebelum Perang Jawa atau biasa disebut Perang Diponegoro berlangsung (1825 – 1830), peternakan kuda sang pangeran mempekerjakan tak kurang 60 pengasuh maupun pencari rumput.
Kiai Gentayu, si kuda istimewa inilah yang menemani bangsawan ini berperang hampir 5 tahun lamanya. Hingga, suatu ketika, pada 11 November 1829, tepat di hari ulang tahun ke 44 Diponegoro (1785-1855), nasib berkata lain.
Tongkat ziarah Pangeran Diponegoro yang disebut Erucakra. Tongkat ini disimpan selama 181 tahun oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud (1833-1834). Kini tongkat ziarah itu telah kembali ke tanah leluhurnya.
Tongkat ziarah Pangeran Diponegoro yang disebut Erucakra. Tongkat ini disimpan selama 181 tahun oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud (1833-1834). Kini tongkat ziarah itu telah kembali ke tanah leluhurnya.
Dalam serangan taktis pasukan gerak cepat ke 11 yang dikomandani Mayor Andreas Victor Michiels, di kawasan pegunungan Gowong, Kedu, sang pangeran nyaris tertangkap. Itu karena serdadu Belanda ada yang berasal dari kesatuan prajurit Ternate yang kondang dengan kemampuan melacaknya.
Pangeran Diponegoro terpaksa harus meloncat dari kudanya dan lari terjun ke jurang di sekitar lokasi. Beliau bersembunyi di dasar jurang, berlindung diantara gelagah dan tanaman liar lainnya. Kiai Gentayu, senjata pusaka, berikut jubah dan perlengkapan pribadi Diponegoro disita pasukan Belanda.
Tombak Kiai Rondhan, pusaka kesayangan Pangeran Diponegoro yang dianggap memiliki kekuatan supranatural yang melindungi sang pangeran.
Tombak Kiai Rondhan, pusaka kesayangan Pangeran Diponegoro yang dianggap memiliki kekuatan supranatural yang melindungi sang pangeran.
Pelana kuda Kiai Gentayu, tombak Kiai Rondhan dikirim ke Raja Belanda, Willem I (1813-1840) sebagai harta rampasan perang. Namun, pada 1978, Ratu Juliana (1948-1980) mengembalikan benda-benda pusaka tersebut ke pemerintah Indonesia, berdasarkan kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia yang diteken 1968.
Pelana kuda ini terdiri dari bahan: kulit, kapas padat, kain, kawat, dan besi untuk sanggurdi. Kini usianya sudah 186 tahun, kulit tebal di bagian bawah masih bertahan, begitu pula kawat dan besi sanggurdi. Hanya kain pelapis dan kapas padat yang lapuk termakan usia.
Nb. Fotto Lukisan karya anak negeri Ali Antoni ini merekontruksi ulang kembali Pangeran Diponegoro untuk di bawa kembali ke Tradisi Jawa yang sudah sangat kental kita kenal selama ini.
Sedari kecil sekolah SD semua anak sudah di cekoki dengan Lukisan Pangeran Diponegoro dengan Surban dan jubah putih, yg sebenarnya sangat kontras dengan sejarah tradisi budaya Pangeran Diponegoro yg merupakan Pahlawan bangsa ini dalam melawan penjajah Belanda.
De vi de et impera strategi adu domba dari Belanda terus memporakporandakan dan memecah belah persatuan Nuswantara, dan Lukisan Pangeran Diponegoro versi Jubah itu salah satu strategi Belanda untuk memecah belah, membenturkan Sara antara Agama dan Budaya Jawa yg sudah di bangun Hidup rukun turun temurun oleh Wali Songo.
Salah satu bentuk berfikir kreatif yg mesti di apresiasi demi kembali memulihkan tradisi kebesaran cita-cita leluhur Nusantara.
Salam Rahayu- Rahayu – Rahayu.