Breaking News

Kisah Tabloid METRO (London dan Jakarta)

Oleh : Anif Punto Utomo

Suatu pagi naik bus tingkat warna merah menyala, khas bus kota London. Begitu masuk di pintu depan, kita harus ngetap kartu yang lokasinya persis di samping sopir. Jika ingin ke atas, tangga ada di sebelah kiri di belakang sopir.

Di sebelah kanan, berseberangan dengan tangga ada kotak persegi panjang ukuran sekitar 80x100cm setinggi 80 cm untuk menaruh barang. Di atas kotak ada semacam laci yang isinya adalah tabloid. Ya, tabloid, namanya Metro.

Sebetulnya tabloid itu tidak asing, apalagi buat kaum jurnalis. Metro adalah tabloid legenda di Inggris yang dibagikan secara gratis. Selain di bus kota, tabloid yang terbit hanya di hari kerja (week days) ini juga bisa diperoleh di tempat-tempat umum. Tabloid dirancang sebagai bacaan ringkas bagi kaum urban berisi berita singkat dan informasi lokal.

Menjadi mengejutkan karena di zaman digitalisasi ini Metro tetap eksis. Bahkan masih dicetak 1,4 juta eksemplar per hari dengan jumlah pembaca 3,3 juta. Sehingga sampai sekarang masih menjadi tabloid gratis terbesar di dunia!

Apakah klaim 3,3 juta itu benar, saya kurang tahu. Tetapi yang jelas selama enam hari di London dan setiap hari naik turun bus berikut menyusur jalanan, baru melihat tiga-empat orang yang membaca Metro di tempat terbuka.

Tabloid untuk kalangan urban ini mulai terbit pada 1999. Awalnya hanya didistribusikan di London lantas berkembang ke kota lain sampai kemudian terdistribusikan di 50 kota di Inggris Raya. Kini di era internet, selain edisi cetak juga ada edisi online yang dibuat lebih interaktif dengan pembaca.

Tabloid yang dibagikan gratis berarti seluruh pendapatan diperoleh dari iklan. Saya coba amati porsi iklan sekitar 30-40 persen. Mungkin saja perolehan dari iklan cukup menutup seluruh biaya operasiinal, kalau tidak tentu sudah almarhum. Dan tentu melakukan efisiensi besar-besaran. Entah di sektor mana mereka melakukan efisiensi.

Ketika melihat tabloid Metro tersebut, saya jadi ingat pasca Presiden Suharto lengser, dan tak lama setelah tabloid Metro itu terbit, di Jakarta juga terbit tabloid dengan nama sama Metro, dengan embel-embel Jakarta. Tampaknya Metro Jakarta terinspirasi Metro London.

Tabloid Metro-Jakarta digawangi para mantan dedengkot Republika di antaranya Nasyith Majidi (sebagai pemimpin umum) dan Farid Gaban (pemimpin redaksi). Di jajaran Dewan Redaksi ada Rizal Ramli, Toni Prasetiantono, Faisal Basri, Revrison Baswir, Laksamana Sukardi, dan Eep Saefulah.

“Koran berwarna dan gratis,” kata Nasyith. Puluhan ribu eksemplar dicetak dan didistribusikan secara gratis di Jakarta dan Bogor. Berita yang ditulis berita umum, selain masalah lokal dalam kasus tertentu juga berita level nasional.

Kualitas berita dan tulisan tidak kalah dengan koran umum seperti Republika dan Kompas. Cerdas dan berkelas. Namun tampaknya ada kesan bahwa koran gratisan kualitas sajiannya ‘ngasal’ sehingga oleh biro iklan dipandang sebelah mata. Akibatnya nyaris tidak ada iklan yang mampir. Metro Jakarta pun hanya bertahan dua tahun.

Maka ketika melihat masih eksisnya Metro London dengan tiras di atas satu juta eksemplar itu adalah ‘sesuatu’ sekali. Mereka tetap bisa bertahan di kala banyak koran dan tabloid pada pamit mundur karena tidak kuat menahan tingginya biaya cetak dan operasional.@

Semua tanggapan:

52Farid Gaban dan 51 lainnya

About Redaksi Thayyibah

Redaktur