Foto : Potret Jabbar
Oleh: Anna Diana
Setiap kali lebaran tiba, aku iri melihat Sulastri. Semua anak-anaknya pulang. Riuh suara tawa anak cucunya. Senyum terus terukir di wajah Lastri. Membuat rasa iri di hatiku makin membesar.
Bukan hanya saat lebaran. Sewaktu-waktu anak cucunya juga datang menjenguknya. Saat dia sakit, anaknya saling bergantian menjaganya.
Di hari biasa, Lastri tinggal dengan anak bungsunya dan suaminya. Setiap hari dia hanya menjaga cucunya. Anak dan menantunya melarangnya mengerjakan yang lain. Sulastri benar-benar merasakan ketenangan di usia senjanya.
Berbeda denganku.
“Bel, lebaran kalian pulang kan?” tanyaku pada Bela, putri sulungku.
“Maaf, Ma. Aku tidak bisa pulang. Sibuk. Aku sudah kirim uang untuk Mama,” jawab Bela.
“Aku sudah transfer uang buat, Mama. Ardi sibuk tidak pulang.” Jawaban serupa dari Ardi, putraku.
Sejak bekerja lalu berumah tangga, anak-anakku jarang mau pulang. Hanya mengirimkan uang. Kata mereka itu sudah lebih dari cukup sebagai bentuk baktinya.
“Ma, meskipun kami tidak pulang. Setiap bulan selalu mengirimkan uang untuk Mama. Itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Mama,” ucap anak-anakku itu.
Seandainya mereka tahu. Di usia yang tak lagi muda, bukan lagi uang yang aku butuhkan. Aku hanya ingin sedikit perhatian dari anak-anakku. Ingin ditanya kabar. Ingin merasakan dipeluk penuh kerinduan oleh mereka.
***
“Ma, ada acara di sekolah. Mama datang ya!” ucap Bela, dulu.
“Mama sibuk. Kamu datang sendiri saja sama Mbok.”
Kiranya aku terlalu berharap anak-anak akan merindukanku dan memelukku. Melupakan satu hal. Bahwa seorang anak adalah peniru tingkah orangtuanya.
Bagaimana bisa aku berharap mereka perhatian padaku, jika dulu tidak pernah memperhatikan mereka.
Aku lupa, bahwa anak hanyalah gambaran sikap orangtuanya. Apa yang dirasakan Sulastri sekarang juga karena buah perilakunya. Dulu dia yang selalu ada untuk anak-anaknya. Mendidik anak-anaknya dengan baik.
“Anak-anakku itu investasi masa tua, Ros. Kita menanam padi saja, rumput akan ikut tumbuh. Apalagi jika yang kita tanam semak berduri,” ucap Lastri dulu.
Dulu aku sering nyinyir melihat Lastri dengan daster lusuhnya. Juga semua aktivitasnya menjaga dan membersamai anak-anaknya. Dia yang juara kelas memilih menjadi ibu rumah tangga biasa. Membuatku semakin kencang menertawakannya, dulu.
Sekarang dunia seakan terbalik. Bisa jadi Sulastri yang kini menertawakan aku. Di usia senja hidup sendirian. Padahal semua anak-anakku hidup berkecukupan. Namun, mereka seakan tidak peduli dengan ibunya ini. Sedangkan Sulastri, meskipun hidup dalam kesederhanaan. Semua anak-anaknya begitu peduli dan memanjakannya.
Seandainya bisa memutar waktu. Aku tidak akan melupakan satu hal. Ibu adalah madrasah pertama anak-anaknya. Seorang anak belajar dari sikap orangtuanya. Celakanya aku melupakan itu semua. Lupa bahwa waktu yang terlewati hanya bisa disesali tanpa mampu untuk diperbaiki.