Oleh: Joko Intarto
Uha Bahauddin namanya. Uha panggilannya. ‘’Orang Istana Negara’’ lebih mengenal karpet merahnya ketimbang Uha. Ya. Uha-lah yang memasang karpet merah di Istana Negara: Jakarta dan Jogja. Sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Bisnis karpet sebenarnya dimulai orang tuanya. Ia hanya meneruskan saja. Saat ayahnya merasa sudah terlalu tua.
Uha masih bekerja di Jawa Pos Group saat itu. Permintaan ayahnya membuat Uha memutuskan pensiun muda dari Jawa Pos Group. Pilihannya: Memenuhi permintaan ayahnya, atau perusahaan karpet itu tutup.
Sebagai ‘orang pemasaran’, Uha segera menganalisis kinerja perusahaan karpet itu, saat pertama mulai mengelola manajemennnya. Ia harus tahu mengapa perusahaan ayahnya itu makin hari makin surut.
Dengan pendekatan SWOT, Uha menyimpulkan: Pabrik karpetnya tergolong kecil. Tidak mungkin menang bersaing melawan pabrik karpet lain yang raksasa. Agar bisa eksis, pabrik harus bisa menciptakan produk unik supaya tidak head to head dengan pabrik karpet raksasa.
Produk unik itu akhirnya bisa ditemukan: Memproduksi ‘’carpet on demand’’. Begitu ia menyebutkan keunggulan perusahaannya. ‘’Carpet on demand’’ mengubah kelemahan menjadi kekuatan perusahaannya.
‘’Carpet on demand’’ tidak bisa diproduksi pabrik karpet raksasa. Mesinnya terlalu besar. Kecepatannya sangat tinggi. Tidak mungkin ‘’mondag-mandeg’’ beberapa menit sekali. Dalam sekali ‘’giling’’, kata Uha, mesin karpet raksasa menghasilkan ratusan meter karpet.
Sementara mesin di pabrik Uha sangat kecil. Kecepatannya juga rendah. Bisa ‘’mondag-mandeg’’ setiap saat. Sesuai kebutuhan produksi.
Dengan konsep ‘’carpet on demand’’, Uha menawarkan produk karpet dengan desain dan ukuran sesuai permintaan konsumen. Harga sudah lengkap dengan biaya kirim dan pemasangannya di lokasi. ‘’Inilah satu-satunya keunggulan produk kami. Kalau bahan baku dan kualitasnya, produk kami dengan produk pabrik raksasa sama saja,’’ tutur Uha.
‘’Carpet on demand’’ membuat perusahaan warisan ayahnya itu bangkit dengan cepat. Konsumen Uha muncul dari pemilik ruangan kantor berukuran kecil di kota-kota besar seluruh Indonesia.
Satu gedung bertingkat, misalnya, luas lantainya 5 ribu meter persegi. Penyewanya 200 perusahaan. Uha memasang karpet di 20 perusahaan itu. Warna karpetnya unik: Sesuai dengan ‘’corporate color’’-nya. Bisa diberi logo dan kata-kata motivasi juga. Karpet itu hanya diproduksi satu. Untuk konsumen itu saja.
Puncaknya, Uha mendapat kepercayaan Istana Negara untuk memasang karpet merah di Jakarta dan Jogja. Keberhasilannya membuat Uha diundang beberapa stasiun televisi: Lokal maupun nasional. Uha juga menghadiri undangan para Youtuber untuk berbagi cerita soal karpetnya.
Saya salah satu konsumen ‘’carpet on demand’’ perusahaan Uha. Pada awal pandemi, saya terpaksa harus melapisi ruang kerja saya dengan karpet tebal agar bisa dialihfungsikan menjadi studio webinar.
Penerapan PSBB begitu ketatnya. Tidak ada lagi ruangan di hotel dan gedung perkantoran yang bisa saya sewa menjadi studio. Semua ditutup gara-gara Covid-19. Kantor Jagaters yang nyelempit di gang kecil di belakang Pasar PSPT, Tebet Timur, menjadi satu-satunya pilihan.
Boss Aice Cream terpaksa datang ke situ untuk membuat konferensi pers virtual. Pendeta Gereja Isa Almasih, Mangga Besar, terpaksa memimpin ibadah untuk jemaatnya di dalam dan luar negeri secara virtual dari ruangan itu. Begitu pun ustad yang harus mengisi pengajian mingguan.
Dua hari lalu saya mendapat kabar: Uha meninggal dunia. Kabar ini cukup mengejut saya.
Ia memang sakit. Stroke. Sekitar empat bulan lalu. Belakangan, kondisinya membaik. Foto-foto perkembangannya diunggap ke Whatsapp Group hampir setiap pekan.
Inalillahi waina ilaihi rojiuun.Selamat jalan Uha. Saya akan selalu ingat dengan cerita Anda tentang ‘’carpet on demand’’.
Bagi saya, itulah pelajaran marketing penting: Kenang-kenangan Anda untuk saya. Sangat-sangat berharga.