Oleh: Setiardi
Beberapa tahun lalu saya ke Sri Lanka, negeri bekas jajahan Inggris di anak Benua Asia. Ada dua alasan saya ‘iseng’ ke sana. Pertama, penasaran mencari batu di daerah Ratnapura, Sri Lanka. Maklum, saat itu sedang demam batu akik. Alasan kedua, untuk masuk ke sana hanya perlu ‘visa on arrival’ saja. Tak pakai ribet.
Sampai di bandara di Colombo, saya menyewa mobil untuk beberapa hari. Seperti biasa, hal pertama yang saya lakukan mencari warung makan untuk mengganjal perut. Saya minta diantar ke warung makan menu Yaman: ‘Hadramout’. Sebab percaya dijamin halal.
Saya menjelajahi kota dan pedesaan di Sri Lanka. Hampir sepekan. Berpindah-pindah hotel. Maklum pengangguran seperti saya punya banyak waktu untuk keluyuran tak jelas. Saya melihat potensi alam di Sri Lanka menjanjikan. Tak heran jika tahun 1950 terbentuk Colombo Plan, di Sri Lanka — pakta kerjasama negara-negara Asia Pasifik.
Karenanya, saya terkejut mendengar negeri itu chaos karena gagal bayar utang luar negeri yang hanya 736 triliun (cuma seupil dibanding utang Indonesia). Tak cuma itu. PM Mahandi Rajapaksa terpaksa mundur, lalu kabur entah kemana. Dan puluhan rumah pejabat tinggi dibakar rakyat yang kelaparan.
Semoga Indonesia belajar dari Sri Lanka. Jangan menumpuk hutang.