Oleh: Joko Intarto
Begitu dokter menyatakan ibu saya telah meninggal dunia secara klinis, saya langsung membayangkan berbagai pekerjaan susulan yang harus segera dilakukan sesudahnya.
Saya tidak boleh panik. Tidak boleh melow. Harus tetap tenang. Harus tetap berpikir jernih.
Sambil mengurus administrasi di RS Permata Bunda, saya izinkan adik saya membawa jenazah almarhumah kembali ke rumah duka. Ambulans Lazismu Grobogan yang membawa ke RS masih stand by di parkiran. Saya akan menyusul naik sepeda motor.
Dalam perjalanan pulang, saya baru ingat: Belum sarapan. Berhentilah saya di warung makan Kepala Manyung. Di ujung jalan desa.
Sebelum masuk rumah saya harus sarapan. Sebab di rumah tidak mungkin bisa. Urusan pemakaman pasti akan menyita waktu.
Sepiring kepala manyung dengan nasi panas ludes dalam hitungan menit. Jam dinding menunjukkan angka 11.30. Berarti sudah satu jam ibu saya meninggal dunia. Berarti sudah 10 menitan jenazahnya tiba di rumah.
Sebelum meninggalkan warung, saya pesan makanan untuk keluarga di rumah duka: Asem-asem 25 porsi lengkap dengan nasinya. Perkiraan saya cukup untuk makan siang dan makan malam keluarga sendiri.
Menjelang adzan dzuhur sampailah saya di rumah duka di Dusun Glonggong, Kelurahan Kranggan Harjo, Kecamatan Toroh.
Sudah setengah jam jenazah almarhum disemayamkan di pendopo. Diselimuti kain batik Garut pemberian istri saya lima belas tahun lalu. Ibu begitu suka dengan kain itu. Adem di kulit dan motifnya kuning cerah.
Warga desa sudah mulai berdatangan. Selain takziyah, mereka datang sebagai panitia pelaksana prosesi pemakaman.
Kepanitiaan itu terbentuk karena kebiasaan. Akhirnya melembaga. Sejak saya masih kanak-kanak, lembaga sosial itu sudah hidup. Generasinya saja yang berganti.
Tugas panitia ada beberapa. Warga desa mengerjakan semuanya tanpa dikomando lagi. Ini yang inti:
- Pemulasaraan
- Pemakaman
- Among tamu
- Konsumsi
- Pengajian
Di halaman, delapan orang muda-muda mendirikan tenda berukuran 6 meter x 6 meter. Tenda itu didesain khusus. Hanya keluar kalau ada Warga meninggal dunia. Tenda lengkap dengan fasilitas ruangan tertutup untuk memandikan jenazah. Seperti bilik kecil berukuran 3 x 3 meter.
Ada yang mengerjakan Tenda. Ada pula yang mengerjakan tugas lain: Menyiapkan kursi untuk tamu yang datang dan menyambut tamu-tamu itu sekaligus mengatur lokasi parkir kendaraan.
Pemulasaraan dikerjakan kaum ibu karena jenazahnya perempuan. Dari meronce kembang hingga mengenakan kain kafan. Kalau yang meninggal laki-laki, kaum ibu hanya menyiapkan kembang ronce saja. Kegiatan meronce dikerjakan di dalam pendopo atau ruang tamu.
Pada saat bersamaan, Pak Modin memimpin tim penggali makam agar acara pemakaman berjalan sesuai rencana: Setelah salat ashar. Pak Modin juga yang menyiapkan ruangan untuk salat jenazah di dalam masjid dan memerintahkan orang untuk mengurus keperluan pemakaman. Pak Modin sendiri menyelesaikan administrasi kependuduka almarhumah.
Di dapur ibu-ibu sudah sibuk memasak. Ada 10 orang yang bekerja. Sebagian memasak air. Sebagian merajang bumbu. Sebagian lagi menanak nasi.
Bahan makanan datang dari para tamu. Umumnya membawa beras, gula, teh dan kopi. Ada pula yang membawa ayam hidup untuk dimasak. Kalau bumbu-bumbu seperti kecap, garam, bawang, cabai, dikirim warga yang punya warung kelontong.
Apa saja yang diperlukan tinggal pesan. Hitungannya belakangan. Biasanya dibayar dari uang sumbangan warga.
Makanan siap. Jatah makan dibagikan kepada semua pekerja tenda, pemulasara jenazah dan penggali makam. Tamu-tamu tidak diberi makan. Hanya air minum dan makanan kecil seperti kue kering dan permen.
Selepas salat ashar, jenazah disalatkan di masjid. Sebelum magrib, prosesi pemakaman selesai seluruhnya.
Kegiatan kembali berpusat di rumah duka. Tim pengajian dan konsumsi bertugas hingga tujuh hari ke depan: Menggelar tahlilan dan pengajian yang dihadiri majelis taklim bapak-bapak dan ibu-ibu.
Lembaga sosial warga desa tampak begitu terlatih. Turun-temurun. Dari generasi ke generasi. Itulah salah satu kekayaan budaya di desa ibu saya.