Oleh: Setiardi
Saya belajar bersikap adil. Dan yang terberat yakni adil pada mereka yang kita anggap ‘musuh’.
Sejak 2014 Indonesia seperti terbelah. Satu kelompok di kanan, yang lain di kiri. Segregasi itu terasa pada hampir semua urusan. Bahkan pada soal Canon, seekor anjing yang mati setelah ditangkap petugas Satpol PP di Aceh.
Pesohor Sherina mengkritik cara Satpol PP Aceh menangani Canon. Kritik itu menimbulkan pro-kontra. Dan saya terkejut dengan begitu banyak yang kontra. Secara politik yang kontra pada umumnya bukan pemilih Jokowi. [Sama dong dengan saya yang tak pernah memilih Jokowi 🙂 ]. Sementara Sherina adalah pendukung Jokowi. Ayah Sherina, Triawan Munaf, pernah diangkat Jokowi mengepalai Barekraf.
Kelompok yang kontra Sherina menuding bekas artis cilik itu ‘Islamofobia’, sebab peristiwa Canon di Aceh. Bahkan isu ini dikaitkan dengan wisata halal. Banyak juga yang menyerang Sherina karena dianggap hanya concern soal Canon di Aceh, tapi tak bersuara tentang anjing yang jadi santapan manusia di kota lainnya.
Apa sikap saya? Saya jelas bukanlah ‘kelompok’ Sherina dan kawan-kawannya itu. Tapi soal Canon saya memilih melihat apa yang disampaikan Sherina. Saya belajar bersikap obyektif. Bagi saya kematian Canon setelah ditangkap Satpol PP jelas satu kekeliruan. Itu melanggar prinsip animal welfare. Itu dulu dasar pijakannya.
Animal welfare, kesejahteraan hewan, mensyaratkan kaidah dalam memberlakukan hewan. Beberapa jenis hewan ternak untuk konsumsi manusia, sudah lazim diberlakukan standar kebaikan. Tak boleh ada penyiksaan. Bahkan saat penyembelihan harus dilakukan secara beradab, dengan menggunakan alat yang sangat tajam.
Saya rasa kritik yang disampaikan Sherina, dan kawan-kawannya, patut diterima. Canon, anjing naas di Aceh itu, sebetulnya tak perlu mati. Tudingan bahwa Sherina itu Islamofobia, atau anti-wisata halal, bagi saya terlalu berlebihan.
Saya belajar bersikap adil. Dan yang terberat yakni adil pada mereka yang kita anggap ‘musuh’.
(Judul dari redaksi)