Oleh: Setiardi
Ini foto saya di Naypyidaw, ibukota baru Myanmar. Saya sudah tiga kali berkunjung ke negeri yang panas itu. Berburu batu akik. Kualitas batu Myanmar diakui dunia. Harganya murah. Untaian batu saya jadikan gelang Mamak di toko perhiasan Cikini, Jakarta. Biasa Mamak pakai untuk Lebaran.
Banyak pelajaran yang saya petik di Myanmar. Salah satunya: kegagalan ibukota baru. Ya, junta militer pada 2005 memindahkan ibukota negara dari Yangon ke Naypyidaw. Jaraknya sekitar 350 kilometer. Tak ada dasar yang jelas. Dari perbincangan warung kopi, saya dapat info bahwa pemindahan ibukota itu atas saran dukun yang dipercaya pemimpin junta militer Than Shwe. Agar lebih hoki.
Selain menyedot APBN Myanmar, ibukota baru itu ternyata gatot. Gagal total. Saya berulang putari Naypyidaw: sepi. Padahal semua aktivitas pemerintahan sudah dipindah ke sana. Gedung megah, jalan lebar, dll, seperti sia-sia belaka. Itu kota mati. Panas dan gersang. Saya tak melihat orang berjalan di trotoar dan pedestrian. Rakyat Myanmar tetap memilih Yangon. Tak bisa pindah ke lain hati.
Hari-hari ini kita mendengar kabar buruk dari Myanmar. Junta militer tak mampu mengelola negara. Diktator selalu berdampak buruk. Ekonomi merosot. Rakyat tak bebas menarik uangnya sendiri. Nilai mata uang Kyat terjun bebas. Kelaparan mengancam. Demokrasi diberangus. ASEAN meradang pada Myanmar.
Ternyata, setelah memindahkan ibukota ke Naypyidaw, Myanmar makin terpojok ke tubir jurang. Nasihat dukun yang menyebut pemindahan ibukota akan membawa hoki sama sekali tak terbukti.