Oleh: Joko Intarto
Angkringan di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan ini, cukup ramai. Padahal sudah lewat pukul 21:00. Pengunjungnya anak-anak muda di kompleks itu juga. Saya menduga saat mereka datang: naik sepeda motor tetapi tidak memakai helm.
Baru sekali itu saya ke angkringan tersebut. Pak Lambang, boss CSM Cargo, yang mengajak saya ke situ. Katanya, wedangnya jahenya enak. Padahal 10 menit sebelumnya, kami berdua baru selesai ngopi di restoran Balak Enam, Tebet.
Angkringan Ceng 3 sebenarnya sangat sederhana. Central kitchen-nya menggunakan gerobak seperti angkringan pada umumnya. Tempat duduknya saja yang istimewa: kursi dan tikar untuk yang senang lesehan. Tikar digelar di antara pohon bunga di depan rumah pemiliknya.
Pikiran saya tiba-tiba melayang ke rumah ibu saya di Grobogan. Konsep angkringan itu sepertinya bisa diadopsi di sana. Memanfaatkan halaman rumah yang kebetulan ukurannya cukup luas: sekitar 80 meter persegi. Angkringan dilengkapi dengan fasilitas wifi gratis bagi para pengunjung.
Kebetulan saya sudah membeli satu set peralatan seduh kopi: grinder 1 unit, Vietnam drip 5 unit, metal V60 coffee drip 2 unit, gooseneck kettle 1 unit dan server glass 2 unit. Peralatan itu cukup untuk membuka warung kopi yang unik di desa: Menggunakan bahan baku kopi robusta untuk menyajikan kopi hitam saring dan tambahan kental manis ala Vietnam.
Angkringan Mbah Bayan. Saya rasa nama itu cukup bagus. Selain menjual kopi, teh dan wedang jahe, angkringan Mbah Bayan juga menyajikan beberapa menu ala desa seperti tempe mendoan, tempe bacem, nasi kucing, pisang goreng, rondo royal dan olahan pala pendem dari para tetangga.
Buru-buru saya buang ide liar soal angkringan itu. Harus kembali ke rencana awal: produksi tempe dan jaringan pemasarannya harus jalan dulu. Angkringan cukup menjadi program pengembangan tahap dua.