Oleh: Salim A. Fillah
Bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam penanggalan Hijriah adalah satu di antara 4 bulan yang dimuliakan bersama Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Kata ‘Muharram’ sendiri bermakna ‘yang dimuliakan’. Tanggal 10 bulan ini disebut sebagai hari ‘Asyura’, yang mana ummat Islam disunnahkan berpuasa.
Asal kesunnahan tersebut adalah ketika orang-orang Bani Israil mempuasainya sebagai ‘Yom Kippur’, hari kemenangan Nabi Musa ‘Alaihissalaam atas Fir’aun, maka Rasulullah ﷺ menyatakan beliaupun lebih berhak atas Nabi Musa daripada mereka, sehingga beliau memerintahkan ummatnya untuk berpuasa dengan keutamaan menghapus dosa setahun.
Dalam sejarah terkemudian, nuansa duka turut mewarnai hari ‘Asyura karena terjadinya peristiwa Karbala, 10 Muharram tahun 61 H, di mana cucu Nabi ﷺ, Sayyidina Husain dan keluarganya terbunuh secara zhalim.
Selain peristiwa kemenangan Nabi Musa atas Fir’aun di atas, juga terdapat riwayat bahwa pada bulan Muharram terdapat peristiwa bersejarah antara lain; diterimanya taubat Nabi Adam, berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Judi setelah banjir besar, selamatnya Nabi Ibrahim dari api, bebasnya Nabi Yusuf dari penjara, selamatnya Nabi Yunus dari perut ikan yang menelannya, dan sembuhnya Nabi Ayyub dari penyakitnya. ‘Alaihimussalaam.
Di Jawa, pada Jumat Legi, 8 Juli 1633 Masehi, Sultan Agung Hanyakrakusuma membuat keputusan bersejarah. Tahun Saka 1555 tetap dilanjutkan angkanya. Tapi perhitungannya diubah dari Syamsiyah menjadi Qamariyah, ditepatkan menjadi Tahun Alip, dan tanggal 1 Sura bertepatan dengan 1 Muharram 1043 H. Kalender baru ini menjadi tanda persatuan antara masyarakat pesisir dengan pedalaman.
Nama bulan pertama dalam kalender Jawa ini, Sura, adalah pengucapan ringkas dari ‘Asyura, namun juga dimaknai sebagai ‘berani’. Bagi orang Jawa, bulan ini adalah peringatan akan keberanian Nabi Musa yang dimenangkan atas Fir’aun sekaligus keberanian Sayyidina Husain yang gagah menyongsong kesyahidan. Ada nuansa syukur sekaligus sabar yang berpadu, demikianlah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Bagi orang Jawa, sebagai bulan awal tahun yang di dalamnya terdapat banyak peristiwa agung, sudah semestinya ia diperingati dengan muhasabah, tafakkur, dan laku prihatin. Selain berpuasa ‘Asyura yang didahului pula dengan puasa Tasu’a di tanggal sembilan, mereka memperbanyak doa-doa agar dapat mengisi tahun selanjutnya dengan berbagai ketaatan, ‘amal shalih, dan berharap dikaruniai keselamatan, kemakmuran, dan keberkahan. Laku mubeng beteng di mana mereka menghitung langkah sembari berintrospeksi dan ‘waltanzhur nafsun ma qaddamat lighad’ (memeriksa apa yang sudah disiapkan untuk hari esok), berbagai bentuk sedekah, dan lain sebagainya merupakan ekspresi muhasabah dan kesyukuran tersebut. Padusan di beberapa daerah, secara filosofis juga bermakna menyambut tahun yang baru dengan kebersihan dan kesucian jasmani maupun rohani.
Demikian pula karena antara Bulan Syawal dan Bulan Besar telah dilangsungkan berbagai hajat, di awal tahun biasanya mereka menunda terlebih dahulu berbagai bentuk acara yang akan menghabiskan biaya besar dan lebih-lebih merepotkan tetangga kiri kanan dan sanak famili, seperti misalnya pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Hal-hal tersebut ditunda dulu sampai nanti masuk bulan Rabi’ul Awal yang bernuansa gembira dan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Pada bulan ini pula biasanya mengikuti kebiasaan keraton yang mengkirab dan menjamas pusaka tosan aji, masyarakat pun ‘nyirami’ dan mewarangi keris atau tombak mereka. Pada masa lalu, kirab dimaksudkan sebagai peneguhan legitimasi kekuasaan di keraton, bahwa heirloom, pusaka turun temurun yang menjadi penanda keabsahan raja yang bertakhta masih ada dan dengan demikian rakyat diharapkan tetap taat kepada ulil amri-nya.
Adapun menjamas dan mewarangi tosan aji tentu ada maksud teknis sekaligus filosofis. Secara teknis ini adalah pengecekan kondisi, pembersihan, dan dengan warangan (senyawa arsenik) maka bilah tosan aji ditampilkan kembali pamornya. Secara filosofis, dalam tahun baru, sebagaimana pemiliknya harus memulai pengabdian kepada Gusti Allah dengan kesucian lahir batin, maka pusakanya pun bersih, dan pamornya ditampilkan kembali sebagai wujud pembaharuan pemaknaan yang jelas akan nilai-nilai yang motivatif dan inspiratif dalam pola-pola indah di atas bilah tersebut.
Tentu bahkan di keraton, pewarangan tidak dilakukan terlalu sering karena akan sangat menggerus unsur besinya. Tetapi penjamasan atau istilah awamnya dimandikan untuk membersihkan kotoran dan minyak lama yang menempel tentu dilakukan, agar pusaka juga tampil bersih dan segar menyambut tahun yang baru, memberikan inspirasi dan motivasi kepada pemiliknya melalui pemaknaan filosofis pada dhapur, ricikan-ricikan, pamor, hingga wanda dan motif yang menghiasi sandangannya.
Demikianlah bulan Sura bagi orang Jawa tidaklah seseram dan sesederhana film ‘Malam Satu Suro’ yang dibintangi Suzanna.