Oleh: HM Joesoef (Wartawan Senior)
Patungan Usaha dan Patungan Aset adalah proyek investasi yang diinisiasi oleh Yusuf Mansur pasca investasi batu bara (akhir 2009-awal 2010) yang berakhir berantakan. Jika investasi batu bara nilai investasinya ratusan sampai milyaran rupiah per orang, Patungan Usaha dan Patungan Aset yang dijalankan pada 2012-2013 itu nilai investasinya Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per lembar saham. Perjanjiannya, investasi modal akan dikembalikan setelah 10 tahun. Setiap tahunnya, para investor mendapat kerahiman sebesar 8% dari nilai investasi.
Untuk apa patungan Usaha dan Patungan Aset dilakukan? Untuk beli-berli Indonesia. Yusuf Mansur punya mimpi-mimpi yang sundul langit, ingin punya ini, ingin punya itu, lalu mengajak umat untuk mewujudkan mimpinya itu secara bersama-sama. Salah satunya adalah hotel yang dekat bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Bangunan hotel sudah ada, tetapi tidak lanjut. Bangunan 2 tower itu aslinya peruntukannya untuk apartemen. Tetapi mangkrak. Lalu, oleh Yusuf Mansur diambil-alih. Berapa nilai akuisisi apartemen yang dijadikan hotel tersebut? Hanya Yusuf Mansur yang tahu nilai sebenarnya. Selama ini, berita tentang nilai akuisisi tersebut masih simpang siur. Di awal akuisisi, Yusuf Mansur mengaku bahwa nilai akuisisinya sebesar Rp 150 milyar. Pada bulan Oktober 2017, di hadapan para wartawan, Yusuf mengaku nilainya Rp 60 milyar. Bahkan ada juga yang mengatakan nilainya Rp 40 milyar. Jumlah pengikut patungan usaha dan Patungan Aset antara 1900 sampai 2900 orang. Di bulan Oktober 2017 itu Yusuf Mansur mengatakan jika nilai hotel Siti saat itu sudah mencapai Rp 160 milyar.
Jika diasumsikan bahwa nilai akuisisi apartemen itu Rp 60 milyar, dengan nilai saham per lembar Rp 10 juta, maka dibutuhkan 6 ribu orang yang ikut Patungan Usaha dan Patungan Aset. Celakanya, Patungan Usaha dan Patungan Aset baru berjalan setahun, Juni 2013, Yusuf Mansur ditegur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, Yusuf Mansur sebagai perorangan tidak boleh menghimpun dana. Yang boleh menghimpun dana adalah badan hukum, berupa PT, Yayasan, atau koperasi. Oleh karena itu, Yusuf Mansur membuat Koperasi, Koperasi Indonesia Berjamaah atau Koperasi Merah Putih. Dana yang tadinya masuk ke rekening pribadi Yusuf Mansur atau Jam’an Nurchotib Mansur, kabarnya, dialihkan ke koperasi.
Persoalan tidak sampai di sini. Belum tuntas urusan akuisisi apartemen, pada awal 2014 Yusuf Mansur memasarkan Condotel Moya Vidi yang katanya akan dibangun di Jogyakarta. Tetapi Condotel ini berjalan kurang dari 1 tahun. Awal tahun 2015, uang hasil investasi dari 600 investor dengan nilaisekitar Rp1,5 milyar, oleh Yusuf Mansur dialihkan ke koperasi Merah Putih secara sepihak (tanpa ada persetujuan dari para investor). Di tahun 2015 itu pula hotel Siti yang terletak di jalan M Thoha, Tangerang, Banten, resmi beroperasi dengan manajemen dari Jaringan hotel Horison. Dari 2 tower, yang dipakai sebagai hotel hanya 1 tower, dengan 11 lantai dan 130 kamar. Tetapi, promosi Yusuf Mansur bahwa hotel ini difungsikan sebagai hotel transit bagi jamaah haji dan umroh yang hendak pergi atau pulang dari ziarah ke tanah suci, tak terbukti.
Apa yang digembar-gemborkan oleh Yusuf Mansur di awal, bahwa hotel Siti ini punya prospek baik, bersyariah, ternyata ibarat api jauh dari panggang. Tak ada rombongan jamaah haji dan umroh yang memanfaatkan hotel ini. Tingkat huniannya pun di bawah 30%. Manajemen Horison akhirnya juga hengkang pada paruh 2017. Lalu, Yusuf Mansur mengelola hotel ini dengan manajemen apa adanya. Hotel Siti yang awalnya bersyariah itu menjadi hotel konvensional. Dan ini tentu mengkhianati akad dengan para investor di awal. Ternyata, dengan tidak lagi bersyariah, hotel Siti tetap saja tidak laku, sampai datangnya pandemi Covid, semakin tidak laku.
Walhasil, hotel Siti yang awalnya dipuja-puji oleh Yusuf Mansur itu kini telah menjadi monumen Patungan Usaha dan Patungan Aset. Inilah bukti fisik yang jejaknya masih bisa dilihat dengan penuh keprihatinan. Wallahu A’lam.