Oleh: Davy Byanca
Konon, ketika sedang dalam suatu perjalanan, Nabi Isa as berpapasan dengan seonggok tengkorak yang membusuk. Beliau kemudian menyuruhnya untuk berbicara. Tengkorak itu berkata, ”Wahai Isa as, namaku Bahwan ibn Hafs, Raja Yaman. Aku hidup selama seribu tahun, melahirkan seribu anak, mengawini seribu perawan, mengalahkan seribu tentara, membunuh seribu tiran, dan menaklukkan seribu kota. Ajaklah orang yang mendengarkan kisahku supaya tidak tergoda oleh dunia, karena dunia itu tidak ada apa-apanya, seperti halnya mimpi yang dialami oleh orang tidur.” Nabi Isa as pun menangis.
Dikisahkan, seorang sahabat, al-Fudhail bin Iyadh pernah berkata, ”Andai semua kejahatan dikumpulkan dalam sebuah bangunan, kunci pintunya adalah cinta dunia. Jika semua kebaikan menjadi satu dalam sebuah bangunan, kunci pintunya adalah zuhud dari dunia.”
Pernahkah Anda membayangkan jika kejahatan itu berupa sebuah rumah dan kunci rumah kejahatan itu adalah cinta dunia? Bukankah jika Anda sang pemegang kunci, Anda bisa masuk ke dalam rumah tersebut. Anda pun lalu menjadi bagian dari penghuni rumah. Lalu Anda pun menjadi bagian dari seseorang yang cinta kepada dunia, cinta materi, cinta harta, cinta kedudukan, dan cinta pada hawa nafsu. Sadar tak sadar, Anda akan menjadi seseorang yang jahat, penghuni bangunan bernama kejahatan.
Begitulah perumpamaan yang indah mengenai pesona dunia yang kerap menimbulkan penderitaan daripada kesenangan. Sekarang bayangkan, andai kita memiliki sebuah barang ‘branded’ yang mahal. Begitu benda itu menjadi milik kita, pikiran ini pasti berubah, ”Sekarang, di manakah akan saya simpan benda ini? Jika saya meletakkannya di sini, seseorang akan mencurinya?” Hidup pun menjadi tergantung pada barang tersebut. Cenderung mencemaskan keberadaannya. Inilah yang namanya penderitaan!
Dan kapankah penderitaan itu timbul? Penderitaan muncul begitu kita merasa bahwa kita telah ‘memiliki’ sesuatu. Bukankah sebelum memiliki benda itu, tak ada kecemasan. Dalam artian, penderitaan belum muncul, saat tidak ada barang yang membuat pikiran kita melekat padanya.
Begitu pula dengan diri ini. Jika kita berfikir dari sudut pandang “diri”, segala sesuatu yang berada di sekitar kita akan menjadi “milik kita”. Maka kebingungan segera menghampiri. Jika tidak ada “saya” dan ”milik saya,” kebingungan pun insya Allah takkan ada. Karena sejatinya, semua adalah milik-Nya semata.
Jadi, ke mana pun kita lari di dunia ini, pasti akan dijumpai penderitaan. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri selama pikiran masih berada di dalam dunia ini. Sama seperti ingin melarikan diri dari bau setumpuk kotoran dengan membagi-baginya menjadi kelompok-kelompok kecil. Dalam tumpukan yang besar maupun yang kecil, bau kotoran itu tetap akan tercium sama, di mana pun kita berada.
Nah, barangsiapa yang hidupnya dipenuhi oleh perasaan ‘cinta dunia’, ia takkan bisa
lepas berurusan dengan ‘kejahatan’, bahkan tanpa disadari, ia sendiri bisa menjadi pelakunya. Rumi berkata,
Oh dunia, jangan kau rayu aku dengan pesonamu, cukuplah kutaruh dirimu di tanganku, tidak di hatiku, maaf!