Oleh: Davy Byanca
Aku bukan Rumi, Hafiz, Kahlil Gibran, Nizar Qabbani atau Rendra penyair legendaris itu. Aku hanyalah lelaki tua dari ujung timur Nusantara. Bodoh, tidak -atau katakanlah belum, mengerti apa-apa, soal narasimu.
Tubir hatiku terketuk begitu saja. Menyaksikan kebijakan demi kebijakan. Teriakan dan bentakan, jerit tangis emak-emak, rintihan pedagang kecil menunjukkan kepanikan itu ‘telah terjadi’. Pokoknya tak boleh ada kata ‘beda’ sedikitpun. Katanya negerimu, negeri demokrasi, kawan.
Aku lafalkan segenap jiwa melalui puisi. Sebagai bukti decak kagum perangaimu merawat kebangsaan. Tak ada maaf, dan masih sempat pamer senyum di sela-sela rintihan dan keluhan rakyat yang semakin miris. Aku mendadak mencium aroma anyir dari setiap kata-katamu.
Sudahlah … kibarkan saja bendera putih kawan. Hidup tak semulus sutera raja. Aku membaca semua narasimu dari tahun ke tahun sambil mengernyitkan dahi. Tak ada yang membanggakan. Begitu sederhana, sehingga tak berkesan bagiku.
Oooh Allah. Selamatkan negeriku.