Oleh: Davy Byanca
Rumah yang terdapat cinta, kasih-sayang dan kehangatan akan melahirkan pribadi-pribadi yang subur jiwanya. Dalam rumah ini, konsep benar dan salah diperkenalkan kepada anak-anak. Sebuah senyuman perdana berarti ‘ya’ dan kerutan dahi pertanda ‘tidak.’ Maka, anak lekas sadar bahwa ada yang dibolehkan dan yang dilarang, batas-batas, dan norma-norma yang harus ditaati. Melanggar norma-norma itu akan mengganggu pihak lain. Pengalaman awal ini seyogyanya mendasari setiap hati nurani.
“Akan tetapi,” menurut DR. Khalil A. Khavari, “anak-anak juga tahu bahwa para pembuat aturan itu sendiri juga kerap melanggarnya. Banyak aturan dapat dengan mudah dielakkan, tanpa pelakunya diganjar hukuman, dan sebagian aturan tersebut tampak bodoh, semena-mena, dan curang. Anak-anak juga belajar bahwa ketaatannya pada aturan tak selalu berbuah hadiah. Dengan proses yang rumit ini, hanya sedikit orang yang membentuk hati nuraninya dengan norma-norma benar-salah yang sangat pribadi.”
Dari sebuah rumah, pribadi seorang anak itu tumbuh menjadi “sesuatu.” Begitulah. Orang yang subur jiwanya, adalah orang yang senantiasa memelihara “rumah hatinya,” karena pengembaraan jiwa bertemali dengan perjuangan untuk tumbuh dan berkembang. Ia tak bergeming oleh kesedihan, apalagi kegagalan. Malik bin Dinar pernah berkata, “Bila hati tidak lagi merasakan sedih dan gelisah, maka ia telah rusak sebagaimana rumah yang runtuh karena tidak lagi dihuni.”
Jadi, hal pertama yang mesti kita lakukan adalah menyapu, karena di dalam rumah terdapat banyak sampah, seperti potongan kain, sisa makanan, dan sisa buah. Jika rumah hati ditumpuki oleh sampah syahwat, jiwa akan panas bak tungku yang menyala. Kobaran panas hawa nafsunya akan menjalar ke anggota badan; ada kobaran yang sampai ke mata yang mengakibatkan kita menjadi monster materialistis. Ada yang sampai ke dada, akibatnya hati ternoda, tak lagi bersinar. Dada pun kehilangan cahaya akal yang menerangi, seperti bumi yang kehilangan cahaya mentari. Akhirnya, ‘rumah hati’ kita menjadi gelap laksana gulita malam.
Hati tak ubahnya seperti bak sampah. Di dalamnya terdapat berbagai gejolak syahwat. Perut bagaikan tungku yang terlalu panas, sehingga lama-lama ia meleleh sendiri. Demikianlah perut dengan kobaran syahwat di dalamnya. Bila demikian keadaannya, bagaimana kita akan beruntung? Bagaimana hati yang seperti ini akan menyembah Allah?
Aarrgghhh … dari segala kekayaan yang dibanggakan dunia, cukuplah Kaupenuhi hatiku dengan rasa cintaku kepada-Mu. Dan itu sudah cukup bagiku