Oleh: Salim A. Fillah
Begitu kuatnya atsar pendidikan yang diberikan oleh Syaikh Aaq Syamsuddin dalam diri Muhammad Al Fatih berpangkal dari kekuatan ruhaniah beliau. Dengan penuh keikhlasan, Syaikh Aaq sedia mendampingi Sang Sultan dalam berbagai keadaan.
Suatu ketika setelah kemenangan 29 Mei 1453 itu Sang Sultan hendak menemui sang guru untuk menyampaikan hal penting, namun Syaikh menolak.
“Beliau tak mau menemuiku. Mengapa?”, keluhnya pada seorang panglima kepercayaan. “Barangkali Syaikh melihat ada kesombongan dalam diri Sultan, karena pembebasan Konstantinopel tak pernah bisa dilakukan oleh para sultan sebelumnya. Beliau ingin meruntuhkan kesombongan itu”, jawabnya.
Di antara riwayat yang masyhur juga adalah tentang sebuah pukulan yang tiba-tiba diberikan oleh Syaikh kepada Al Fatih kecil begitu dia masuk ke ruang belajarnya. Karena ayahnya, Sultan Murad II menekankan bahwa dia harus menjaga adabnya dan tak boleh mempertanyakan apapun yang diperbuat gurunya itu, Al Fatih memendam tanya atas salah apa dia dipukul. Dia terus menanti semoga gurunya berkenan menjelaskan. Tapi Syaikh Aaq Syamsuddin tak pernah membicarakan hal itu, seakan ia tak pernah terjadi, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian.
Suatu hari di Istanbul, beberapa tahun setelah penaklukan Konstantinopel yang menyejarah, Syaikh Aaq Syamsuddin memanggil Al Fatih dan memintanya mendekat dengan mata berkaca-kaca. “Kemarilah, izinkan kucium tangan yang pernah kupukul itu, dan kumohon maafkanlah aku Anakku!”
“Syaikh? Ini tentang pukulan saat aku kecil itu? Aku takkan pernah menyalahkanmu, tapi aku memang sangat penasaran atas kesalahan apa aku dipukul?”
“Engkau tidak bersalah, Anakku. Itu adalah kezhalimanku. Bukankah kau tak pernah melupakan pukulan itu?”
“Betul, Guru. Aku tak pernah lupa.”
“Maka ingat pesanku ini; satu kezhaliman yang kaulakukan dan menimpa seseorang, takkan pernah dia lupakan. Bagaimana jika kezhalimanmu mengenai seluruh rakyatmu? Demi Allah, mereka takkan melupakannya. Mereka akan menjadi penuntutmu di hadapan Allah!”
Sang Sultan menangis terisak mendengar hikmah itu. Tanpa bersedia ditahan lagi, Syaikh Aaq Syamsuddin lalu kembali ke Konya dan wafat di sana.