Oleh: Salim A. Fillah
“…Dia bersuara lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan dan kegagahan seorang pejuang di antara bangsanya…” -Sir Francis Drake, Ternate, 3 November 1579-
Saya membayangkan adegan pulangnya Kaicil Baab, putra mahkota Ternate itu pada 25 Februari 1570 dari Benteng Sao Paulo ke Kedaton.
Baju satin putihnya telah menjelma merah. Di pundaknya, jasad Sultan Khairun Jamil ayahandanya terpanggul dengan dada menganga. Gubernur Portugis Lopez de Mesquita telah memerintahkan agar jantung pemimpin Persekutuan Uli Lima itu dicungkil setelah perjamuan laknat yang dengan sangka baik dihadiri Sang Sultan tanpa pengawal.
Malam itu juga, dengan pakaian yang masih berlumuran darah Khairun sang syahid, Kaicil Baab dilantik menjadi Sultan Baabullah Datu Syah. Dengan membara, diaumkannya Sumpah Soya-Soya, janji jihad habis-habisan di bawah panji Islam untuk mengusir bangsa kafir yang aniaya dari tanah airnya.
Dalam tahun-tahun berikutnya, 2000 armada kora-kora dan juanga-nya mengangkuti 120.000 pasukan dipimpin para panglimanya : Raja Jailolo Katarabumi, Kapita Kapalaya, Kapita Kalakinka, dan Kapita Rubuhongi melayari lautan menghantam setiap kedudukan Portugis di timur Nusantara. Benteng Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro segera bertekuk lutut. Benteng Sao Paulo dikepung dengan beradab hingga seluruh bangsa Portugis pergi tanpa disakiti dengan merasa rendah diri di tahun 1575.
Baabullah, sang penguasa 72 jazirah yang membentang dari Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara di barat hingga wilayah kepala burung Irian dan kepulauan Marshall di timur. Dari kepulauan Kei-Nusa Tenggara di selatan hingga Mindanao di utara. Mendakwahi I Tunijallo Raja Gowa, membangun persekutuan dengan kesultanan-kesultanan Muslim untuk menjaga Nusantara dari Imperialisme Barat. Benteng jihad yang dirintisnya bertahan hingga lebih dari 100 tahun kemudian.
Rahimahumallaahu rahmatan wasi’ah.